Ulima Nitra Lakukan Maladministrasi dan Malprosedur dalam Fatality Manambang Muara Enim? 

Perwakilan PT MME, Kepala Dinas ESDM dan Kepala Dinas LHP Sumsel saat RDP terkait fatality Manambang Muara Enim. (rmolsumsel)
Perwakilan PT MME, Kepala Dinas ESDM dan Kepala Dinas LHP Sumsel saat RDP terkait fatality Manambang Muara Enim. (rmolsumsel)

Selain memanggil PTBA dalam kejadian fatality ledakan mobil tangki pada Minggu (10/4) lalu, Komisi IV DPRD Sumsel juga memanggil PT Manambang Muara Enim (MME) untuk hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Senin (18/4).


Pemanggilan ini, menurut Ketua Komisi IV DPRD Sumsel MF Ridho tidak hanya berkaitan tugas dan fungsi legislasi yang dimiliki pihaknya, tetapi lebih kepada tanggung jawab terhadap masyarakat Sumsel atas maraknya kejadian fatality di areal tambang belakangan ini. 

Setelah menggelar rapat bersama PTBA, Komisi IV DPRD Sumsel kemudian meminta PT MME memberikan keterangan terkait fatality yang terjadi wilayah IUP-nya, Kecamatan Lawang Kidul, Muara Enim pada Kamis (14/4) petang. Dua orang meregang nyawa setelah terjatuh dari ketinggian saat melakukan pembongkaran tower dalam kejadian ini. 

Dalam rapat tersebut terungkap bahwa proses pembongkaran tower terindikasi menyalahi prosedur yang seharusnya dilakukan. Bagaimana demikian?

Seperti dijelaskan CSR dan External Relations Manajer PT MME, Dedi Kurniawan dalam rapat tersebut, PT MME sebelum ini berkontrak dengan PT Ulima Nitra Tbk (PT UN), sebuah perusahaan jasa kontraktor pertambangan dan jasa sewa menyewa peralatan pertambangan yang sudah malang melintang di industri tambang tanah air. 

Berdasarkan penelusuran Kantor Berita RMOLSumsel, PT UN ini juga telah melakukan listing di Bursa Efek Indonesia sejak 8 maret 2021 lalu. Sayangnya nilai saham UN terus turun sepanjang setahun terakhir sejak melantai dengan kode (UNIQ). 

Setelah dibuka pada harga Rp118 tahun lalu, UNIQ sempat mencatatkan harga tertinggi sebesar Rp133 dan dalam beberapa waktu terakhir terus turun hingga pada Kamis (21/4), harga sahamnya menyentuh angka Rp73. 

Nah, antara PT MME dan PT UN telah menjalin kontrak pengerjaan jasa overburden removal dan perjanjian sewa-menyewa alat dan pekerjaan selama 60 bulan, pada 1 maret 2017 - 28 Februari 2022. Habisnya masa kontrak inilah yang kemudian membuat pihak PT UN membereskan perlengkapan dan peralatan di lokasi tambang, termasuk tower radio repeater yang berada di Site Darmo kawasan tambang tersebut.

Dalam proses pembongkaran tower tersebut, PT UN disebutkan berkontrak dengan CV Galang Spider Computer yang menyewa jasa dua pekerja, Arifin dan Yusuf yang kemudian meregang nyawa setelah jatuh dari ketinggian sekitar 36 meter. (baca: https://www.rmolsumsel.id/fakta-tewasnya-dua-korban-di-areal-menambang-muara-enim-jatuh-dari-ketinggian-36-meter-disebut-masuk-secara-ilegal)

Dijelaskan Dedi, saat melakukan pembongkaran tower, CV Galang Spider Computer tidak memiliki izin masuk maupun izin bekerja ke areal IUP PT MME. Seharusnya, untuk masuk ke dalam areal tambang ataupun melakukan pekerjaan harus mengantongi izin dari Kepala Teknik Tambang (KTT) selaku pihak yang berwenang terhadap seluruh aktivitas di areal IUP. 

“Kami hanya memberikan izin keluar (barang) untuk PT Ulima Nitra. Ini untuk mengangkut peralatan mereka. Tetapi, izin keluar ini dimanfaatkan sebagai akses masuk pekerja CV Galang Spider Computer. Sehingga bisa dikatakan aktivitas pekerjaan yang mereka lakukan tanpa izin dari kami selaku pemegang IUP,” terangnya. 

Menurutnya, banyak lagi sejumlah pelanggaran yang dilakukan terhadap prosedur yang telah dibuat perusahaan. Seperti pekerja tidak mengantongi sertifikasi K3 terkait bekerja di ketinggian. Sehingga, saat bekerja tidak ada kajian atau analisis untuk menanggulangi resiko yang ada. Selain itu, PT Ulima Nitra tak melakukan pendampingan terhadap pekerja saat melakukan pembongkaran. 

“Seharusnya, ada pendampingan dari PT Ulima Nitra. Dan lagi juga ketika bekerja melakukan pembongkaran, perusahaan harus memberitahukannya ke kami selaku yang berwenang terhadap seluruh areal IUP. Saat itu kami tidak mengetahui sama sekali jika ada aktivitas pembongkaran tower. Kami baru tahu setelah ada kejadian (fatality),” ucapnya. 

Sehingga dalam rapat ini ditarik kesimpulan jika PT UN disinyalir telah melakukan mal administrasi, dengan memanfaatkan surat izin keluar yang dimilikinya untuk dipergunakan oleh korban dan beberapa rekannya itu masuk ke areal tambang. Juga mal prosedur, apabila terbukti tidak mendampingi dalam pekerjaan yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang tidak memiliki sertifikasi K3. 

"Secara pribadi dan secara perusahaan kami berempati terhadap korban, sekaligus merasakan duka yang dialami oleh keluarga namun tentu harus dilihat lebih jauh proses dan prosedur yang terjadi," tambahnya. 

Sementara itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, Hendriansyah mengatakan, pihaknya cukup prihatin atas kejadian yang menimpa dua pekerja tersebut. Hanya saja, terjadinya fatality tidak lepas dari adanya ketentuan atau aturan yang dilanggar. “Dan ini harus ada pihak yang bertanggung jawab,”tegasnya. 

Hanya saja, karena proses investigasi masih berjalan, maka belum bisa ditentukan siapa yang bersalah atas kejadian tersebut. Namun, Hendri-sapaan akrabnya berharap siapapun yang melakukan pelanggaran atas hilangnya dua nyawa ini harus bertanggung jawab. 

“Investigasi ini harus dilakukan sehingga menghasilkan rekomendasi yang nantinya menjadi bahan evaluasi agar tidak ada lagi kejadian terulang,”bebernya. Bukan tidak mungkin penyelidikan fatality ini akan mengarah ke tindak pidana apabila berhasil dibuktikan oleh pihak terkait. 

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi IV DPRD Sumsel MF Ridho kembali menyangsikan kemampuan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Inspektur Tambang Dirjen Minerba Kementerian ESDM. Menurutnya kejadian fatality terus berulang di Sumsel dan terus memakan korban.

“Sejak dicabutnya wewenang daerah untuk memberikan izin maupun pengawasan, sudah banyak kasus fatality yang terjadi. Artinya pengawasan yang dilakukan masih lemah. Entah apakah karena keterbatasan personel atau hal lain. Namun, saya rasa ini harus menjadi perhatian kita semua,” terangnya. 

Ridho menjelaskan, jika pengawasan dilakukan dengan baik, tentu kejadian fatality bisa diminimalisir. “Pengawasannya harus berkala dan berkelanjutan. Kalau ini dilakukan dengan benar, saya rasa kejadian kecelakaan kerja maupun pelanggaran yang lain bisa diminimalisir,” ungkapnya. 

Kedepannya, Ridho berharap pemerintah daerah dalam hal ini provinsi bisa diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan. “Saya mengharapkan kedepannya daerah punya wewenang pengawasan. Agar jalannya aturan bisa ditaati oleh seluruh perusahaan tambang yang beroperasi di Sumsel,” tandasnya. (*/bersambung)