Tunggu Tubang, Tradisi Suku Semende dalam Menjaga Kelestarian Hutan dan Kehidupan Berkelanjutan

Tradisi Tunggu Tubang dari Suku Semende, seorang warga mewajibkan memelihara kebun milik keluarga/Foto:Noviansyah
Tradisi Tunggu Tubang dari Suku Semende, seorang warga mewajibkan memelihara kebun milik keluarga/Foto:Noviansyah

Sudah tujuh puluh delapan tahun sejak Indonesia merdeka, dan makna kemerdekaan tidak hanya sebatas pemberontakan terhadap penjajah.


Saat ini, kepahlawanan juga merujuk pada upaya masyarakat dalam merawat dan melestarikan alam serta hutan, seperti yang terjadi di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

Kabupaten dengan luas wilayah mencapai 9.140,50 kilometer persegi ini, memiliki hutan seluas 382.960 hektar. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 76/KPTS-II/2001, wilayah ini ditetapkan sebagai kawasan hutan dan perairan di Provinsi Sumatera Selatan.

Kawasan hutan di Muara Enim terdiri dari Kawasan Hutan Suaka Alam seluas 9.440 hektar, Kawasan Hutan Lindung seluas 84.410 hektar, Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) 24.495 hektar, Kawasan Hutan Produksi Tetap 182.015 hektar, dan Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) 82.600 hektar. Areal itu kini menjadi tempat kiprah masyarakat dalam melestarikan alam. Tidak hanya menjadi tempat bagi keanekaragaman hayati, kawasan hutan Muara Enim juga memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. 

Salah satu kelompok masyarakat yang berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan di Kabupaten Muara Enim adalah Suku Semende. Suku ini banyak bermukim di Kecamatan Semende Darat Ulu (SDU). Suku ini memiliki beragam tradisi maupun adat yang erat kaitannya dengan pelestarian hutan. 

Salah satunya adat Tunggu Tubang. Tradisi ini mengatur pembagian warisan kepada anak perempuan pertama secara turun temurun. Warisan tersebut mencakup rumah, sawah, kebun hingga tebat atau kolam ikan. Mereka inilah yang akan menjaga dan mengelola warisan keluarga. Hasil dari kebun akan dibagikan kepada seluruh keluarga besar. Tradisi ini masih mengakar kuat dalam kehidupan suku Semende hingga saat ini. 

Tradisi Tunggu Tubang yang masih mengakar kuat dalam kehidupan suku Semende hingga saat ini, menjadikan kelestarian alam dan hutan sumber kehidupan di Desa Datar Lebar/Foto:Noviansyah

Merawat Hutan, Menghidupkan Budaya

Suasana sejuk khas perbukitan langsung terasa saat wartawan berkunjung ke Desa Datar Lebar, Semende Darat Ulu, Muara Enim. Desa ini berjarak sekitar 100 kilometer dari pusat Kota Muara Enim. Sepanjang perjalanan, lansekap perbukitan yang indah memanjakan mata. Rumah-rumah di desa ini di dominasi rumah panggung. 

Warga yang bermukim di desa ini didominasi Suku Semende. Sehingga, tradisi Tunggu Tubang diterapkan dengan baik di desa ini. Tradisi ini dilakoni Tati Herianti. Perempuan berusia 38 tahun ini sudah 18 tahun terakhir berkebun di ataran Kabuan. Ataran sendiri merupakan sebutan warga desa untuk lokasi tanah yang berada di dataran tinggi. Sebagai sulung dari empat bersaudara, Tati berkewajiban memelihara kebun seluas dua hektar milik keluarga. Kebun itu telah ditanami 5.000 batang kopi. 

Pengalaman belasan tahun itu membuat Tati mengerti, jika kelestarian alam dan hutan yang ada di desanya menjadi sumber kehidupan. Sebab, tumbuh kembang batang-batang Kopi ini sangat bergantung pada kondisi alam. Termasuk keadaan hutan yang membuat iklim dan kondisi air terus terjaga.

"Alam yang sejuk juga berengaruh pada kondisi fisik dan stamina para petani yang sehari-hari menghabiskan waktu merawat kebun, dengan melakukan banyak aktivitas pertanian, kalau cuaca panas dan iklim yang tidak bersahabat tentu akan sangat menguras banyak tenaga," kata Tati saat dibincangi Kantor Berita RMOL Sumsel. 

Hasil dari kebun kopi ini menjadi sumber penghasilan keluarga kecilnya. Ibu tiga orang anak ini bisa membiayai sekolah serta kebutuhan sehari-hari keluarganya. Jika kondisi tanaman sedang baik dan alam mendukung hasil panen kopi bisa mencapai 1,5 ton. Sehingga, kelestarian hutan menjadi bagian tak terpisahkan bagi kehidupannya. Dia pun rutin menanam tanaman hutan seperti duren maupun tanaman lainnya untuk menjaga kondisi hutan. 

"Orang tua saya selalu berpesan untuk bisa merawat hutan yang ada di dekat kebun. Makanya, kami selalu menyempatkan diri untuk menanam tanaman hutan yang nantinya menjadi sumber air bagi kebun kami," ucapnya. 

Hal itu juga yang dilakukan warga Semende lainnya, Karnadi. Pria berusia 44 tahun itu memiliki pengalaman berkebun sekitar 20 tahun. Selama itu pula, dirinya merasakan banyak manfaat kelestarian hutan bagi masyarakat Semende. Jangka pendeknya masyarakat bisa memanfaatkan kayu di hutan untuk membangun pondok (Dangau) dan Tengkiang (lumbung padi) di sawah-sawah. "Dengan catatan tidak menjadi serakah atau mengkomersilkan hal itu, yang paling nyata adalah keberadaan rumah-rumah panggung suku Semendo yang didominasi bahan kayu. Itu semua berasal dari hutan," terangnya. 

Manfaat jangka panjangnya, hutan melindungi masyarakat dari bencana banjir. Sebab, keberadaan hutan bisa menjaga keseimbangan air, menjaga iklim yang baik dan suhu udara yang stabil serta terhindar dari ragam polusi udara.

"Banyak sekali manfaatnya, kalau kata orang dulu, hutan (Ghimbe) menyimpan banyak misteri dan kekuatan, hutan di mata masyarakat Semendo tidak lah sembarangan, areal tersebut sangat sakral, bahkan ada adab dan tata krama tersendiri bagi masyarakat Semendo untuk masuk ke dalam hutan," katanya.

Saat masuk ke dalam Ghimbe, kata Karnadi, masyarakat selalu menjaga baik perilaku maupun perkataan. Masyarakat percaya di dalam Ghimbe banyak penghuni yang harus dihormati. Kegiatan masuk hutan itu tidaklah sering dilakukan warga Semende. Mereka hanya mencari bahan untuk membuat alat pendukung aktivitas pertanian. Seperti Lanjung Bake (serokan kopi), Kinjagh (keranjang), Ambung (gendongan padi), Lapek (Tikar), Tudung (tutup saji), Bakul, Kambu (wadah panen), akar-akar atau tumbuhan obat-obatan. 

"Seperti Uwi (Rotan), Akar Bebuagh (tanaman akar), Daun Pughun (purun), Ubagh (pewarna alami) dan buluh (Bambu) Bemban," ujarnya.

Masyarakat Semende juga memperhatikan penggunaan air yang akan mengairi sawah maupun kebun yang dimilikinya. Meski air yang dihasilkan dari perbukitan cukup melimpah, tetapi masyarakat desa menunjuk petugas khusus untuk menjaga dan memperhatikan aliran air dari mata air di hutan menuju ataran sawah dan kebun. Orang itu biasanya disebut Menteri Perairan atau Datuk Aik. Orang ini juga yang nantinya akan memeriksa kondisi lokasi mata air. 

"Ada larangan kepada masyarakat untuk melakukan penebangan pohon-pohon di bantaran sungai dan siring, yang berada di lereng-lereng bukit, dan itu rutin diperiksa oleh Datuk Aik," ungkapnya.

Hal itu merupakan salah satu bukti masyarakat Semende menempatkan kelestarian hutan jadi bagian tak terpisahkan bagi kehidupan mereka. Sebab, hal itu berdampak langsung bagi keberlangsungan aktivitas pertanian dan kehidupan masyarakat. "Dalam tradisi kami, hutan memiliki kekuatan dan nilai sakral. Kami memasuki hutan dengan hormat dan tata krama, karena kami menyadari bahwa menjaga hutan adalah kunci bagi pertanian dan kehidupan yang lebih baik," jelas Karnadi.

Pandangan ini dipegang teguh oleh masyarakat Semende, yang hidup berdampingan dengan hutan selama berabad-abad. Keberhasilan mereka dalam mempertahankan budaya dan adat yang menghormati alam sekitar merupakan cerminan pentingnya pelestarian hutan bagi kehidupan dan keberlanjutan.

Dengan upaya bersama dalam menjaga kelestarian hutan, masyarakat Semendo Raya tidak hanya mengamankan lingkungan alam, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Hutan tidak hanya menjadi sumber kayu dan keanekaragaman hayati, tetapi juga menjadi napas panjang yang mendukung pertanian dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.