Teater Kober Lampung: Program Jalur Rempah Hanya Utopia

Sebuah teater berjudul Amnesia yang dimainkan Teater Kober Lampung. (Yuni Rahmawati/rmolsumsel.id)
Sebuah teater berjudul Amnesia yang dimainkan Teater Kober Lampung. (Yuni Rahmawati/rmolsumsel.id)

Kejayaan nusantara yang sempat menjadi lumbung rempah-rempah di tahun 1930 kini berakhir. Program jalur rempah yang diusung pemerintah pun dinilai hanya sebuah utopia belaka dan tak mampu membangkitkan kembali kejayaan tersebut.


Hal ini terungkap dalam Teater Kober Lampung dengan judul Amnesia yang ditampilkan pada Festival Sriwijaya dalam jejak rempah di Taman Budaya Sriwijaya Palembang, Jumat (12/11).

Sutradara Teater, yang juga merupakan Tokoh Penyair di Lampung, Ari Pahala Hutabarat mengatakan jika teater yang ditampilkan adalah teater kritik kepada pemerintah tentang keikutsertaan Indonesia dalam mengusungkan Jalur Rempah atau Jalur Budaya Warisan Dunia. Mengingat Nusantara atau Indonesia pernah jaya akibat rempahnya.

“Namun, apakah Indonesia pernah jaya, makmur dan sentosa karena rempah itu? Saya rasa faktanya tidak. Karena secara historis dan melalui kegiatan apapun kita tidak jaya, justru rempah itu kemudian menjadi semacam sebab dan alasan untuk kemudian bangsa lain dating kesini memasuki ruang tamu kita dan mempengaruhi atau mengekspor kita dengan tradisi dan budaya mereka, sehingga tradisi kita hilang. Nah ini kritik untuk jalur rempah itu,” jelasnya.

Lelaki berdarah Medan dan Lampung ini juga mengatakan, komoditi rempah yang hype pada zaman tersebut adalah Lada. Nusantara pernah menjadi Lumbung Lada besar untuk Hindia-Belanda pada kisaran tahun 1930.

“76 persen ekspor Lada di Belanda itu datangnya dari Lampung. Menanamnya di Lampung tapi bukan punya masyarakat Lampung itu. Dia milik Hindia-Belanda, Kesultanan Banten, Kesultanan Palembang Darussalam, VOC dan Inggris. Pribumi di Provinsi Lampung tidak pernah menikmati Lada,” bebernya.

Ia juga melanjutkan, kondisi Lampung setelah berakhirnya kejayaan tadi masih tetap menanam Lada, namun dengan harga yang sudah tak sama lagi. Maka, program pemerintah soal Jalur Rempah menjadi sebuah utopia belaka.

“Kita ambil nostalgia bahwa kita pernah jaya ini gagal, tidak terbukti bahwa kita dengan rempah ini jaya. Oke kita produksi kembali rempah secara ekonomis punya nilai tambah ke masyarakat, tapi ketika sudah mempertanyakan harga rempah, berapa sih harga rempah sekarang? Jadi nonsen program jalur rempah itu,” lanjutnya.

Jalur Rempah menurut Ari sendiri adalah kebijakan kultural atau tindakan kebudayaan, seharusnya pemerintah melibatkan banyak Budayawan dan Seniman untuk mengkaji secara sungguh-sungguh.

“Tindakan-tindakan kultural juga didasarkan atas kalkulasi-kalkulasi kultural bukan kalkulasi ekonomi. Nah inikan menggunakan kalkulasi ekonomi. Kan tidak semua bisa di ekonomisasikan,” tuturnya.

Ari berharap nantinya pemerintah seharusnya melibatkan Budayawan dan Seniman untuk berdiskusi lebih lanjut tentang Jalur Rempah yang diinisiasi oleh Pemerintah.

“Budayawan dan Seniman bisa mikir semua kok. Emang orang politik aja yang bisa mikir, kita juga bisa,” pungkasnya.