RR: Presidential Treshold Lahirkan Demokrasi Kriminal

Kemarin siang, mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Rizal Ramli mengajukan uji materi atas Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Untuk itu, ia dan kawan-kawan ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020).


Ketentuan yang dipersoalkan itu mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen. Rizal mengajukan uji materi dengan didampingi pakar hukum tata negara Refly Harun dan tokoh nasional Abdur Rachim.

Mantan Menko Kemaritiman itu dalam permohonannya meminta MK meniadakan presidential threshold.

"Kami ingin hapuskan (presidential threshold, red) jadi nol, sehingga siapa pun putra atau putri Indonesia yang terbaik bisa jadi bupati, bisa jadi gubernur, bisa jadi presiden," kata Rizal setelah mendaftarkan permohonannya di MK, Jakarta Pusat.

Rizal seperti dilansir JPNN.com menambahkan, ambang batas pencalonan presiden membuat demokrasi di Indonesia tak sehat. Menurut dia, ambang batas itu memunculkan demokrasi kriminal.

Ekonom senior itu lantas membeber contoh untuk menguatkan argumennya. Misal, seorang calon bupati harus mengeluarkan dana Rp 30 miliar hingga Rp 50 miliar untuk membayar dukungan dari partai politik.

"Ada yang mau jadi gubernur harus menyewa partai Rp 100 miliar sampai Rp 300 miliar. Presiden tarifnya lebih gila lagi," beber Rizal.

Pada kesempatan sama Refly Harun menilai ambang batas pencalonan presiden seharusnya ditiadakan. Dengan begitu, katanya, kontestasi pemilihan presiden (pilpres) menjadi sehat dan adil.

"Kami menginginkan ketentuan presidential threshold itu nol persen alias tidak ada, agar pilpres ke depan itu berkualitas dan juga fair kompetisi. Bisa membuka sebanyak mungkin orang-orang terbaik di republik ini agar bisa menjadi calon dan yang penting itu bisa menghilangkan demokrasi kriminal," ucapnya.

Menurut Refly, ada dua argumentasi dalam gugatan itu. Namun, mantan wartawan itu tak membeberkannya.

"Jadi argumentasi ada dua, argumentasi yang sifatnya konstitusional dan ekstra atau nonkonstitusional," beber Refly.[ida]