Rektor Unsri Didukung Nadiem Makarim, Gunakan Diskresi Selesaikan Masalah Sendiri

Chat mesum dari oknum dosen Unsri yang kini berstatus tersangka/repro
Chat mesum dari oknum dosen Unsri yang kini berstatus tersangka/repro

Tim dari Kemendikbudristek yang dipimpin Inspektur Jenderal Chatarina Muliana datang ke Palembang Senin (13/12). Kedatangannya, guna melakukan pendampingan terhadap kasus pelecehan seksual yang melibatkan dua oknum dosen di FKIP dan FE Unsri.


Kepada awak media, Chatarina mengapresiasi langkah Rektor Prof Anis Saggaff yang telah berupaya maksimal untuk menyelesaikan permasalahan ini, sesuai dengan Permendikbudristek No.30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

"Yang harus kita pahami, penyelesaian ini merupakan tanggung jawab dari Perguruan Tinggi. Sehingga melalui mekanisme yang dilakukan rektor dan jajaran ini diharapkan tidak berpotensi menyebabkan hal yang kita inginkan," kata Chatarina.

Untuk itu, dia menegaskan jika Kemendikbudristek berupaya menguatkan Rektor Unsri untuk menggunakan diskresi yang dimilikinya dalam menyelesaikan kasus ini. 

"Untuk kasus pertama sudah dilakukan (pencopotan jabatan), untuk kasus kedua sedang dilakukan. Namanya Permendikbud (Kekerasan Seksual) baru dibuat, jadi multitafsir sehingga butuh waktu (untuk dijalankan)," jelasnya. 

Tim Inspektur Jenderal dari Kemendikbudristek yang dipimpin Chatarina Muliana mengunjungi Universitas Sriwijaya (Unsri)/Foto: Mita Rosnita

Sehingga secara tidak langsung, Chatarina menyebut permasalahan yang kini diproses oleh Polda Sumsel itu terlalu cepat dilakukan. Apalagi sebetulnya, Chatarina mengungkapkan jika Rektor Anis Saggaff menginginkan Unsri menjadi role model dalam penyelesaian kasus seperti ini. 

"Ini kan ada niat baik dari rektor untuk menyelesaikan. Penyelesaian ini juga sifatnya kolaboratif antara korban dan BEM. Mungkin terjadi misinformasi dan miskomunikasi dalam kasus ini, tapi rektor juga ingin menjadi role model dalam penyelesaian kasus seperti ini (di kampus lain)," ujarnya. 

Penanganan Kekerasan Seksual Kampus, Tak Disebutkan Sanksi Hukum untuk Pelaku

Mengacu pada Permendikbudristek No.30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, Rektor diberikan kewenangan untuk melakukan pencegahan terhadap kasus kekerasan seksual di kampus dengan tiga cara utama.

Yakni, (1) Pembelajaran; (2) Penguatan Tata Kelola; dan (3) Penguatan Budaya Komunitas Mahasiswa dan Tenaga Kependidikan. Sementara untuk sanksi, diatur beleid tersebut pada bagian keempat Pasal 13 yang berbunyi: (1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c dilakukan dalam hal pelaku terbukti melakukan Kekerasan Seksual; (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi berdasarkan rekomendasi Satuan Tugas.

Secara terperinci mengenai sanksi dijelaskan pada Pasal 14 yang berbunyi: (1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 terdiri atas: a. sanksi administratif ringan; b. sanksi administratif sedang; atau c. sanksi administratif berat. (2) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa: a. teguran tertulis; atau b. pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. (3) Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa: a. pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan; atau b. pengurangan hak sebagai Mahasiswa meliputi: 1. penundaan mengikuti perkuliahan (skors); 2. pencabutan beasiswa; atau 3. pengurangan hak lain. (4) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa: a. pemberhentian tetap sebagai Mahasiswa; atau b. pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga Kependidikan, atau Warga Kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan. (5) Setelah menyelesaikan sanksi administratif ringan dan sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pelaku wajib mengikuti program konseling pada lembaga yang ditunjuk oleh Satuan Tugas. (6) Pembiayaan program konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibebankan pada pelaku. (7) Laporan hasil program konseling sebagai dasar Pemimpin Perguruan Tinggi untuk menerbitkan surat keterangan bahwa pelaku telah melaksanakan sanksi yang dikenakan.

Rektor Unsri Anis Saggaff. (rmolsumsel)

Sanksi tersebut harus dilakukan secara proporsional dan berkeadilan seperti disebutkan dalam Pasal 15 yang berbunyi: Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan secara proporsional dan berkeadilan sesuai rekomendasi Satuan Tugas.

Di sisi lain, Rektor dengan kapasitas yang dimilikinya (diskresi) dapat menjatuhkan hukuman lebih berat bagi pelaku pelecehan seksual di kampus tersebut sesuai dengan Pasal 16 yang berbunyi: (1) Pemimpin Perguruan Tinggi dapat menjatuhkan sanksi administratif lebih berat dari sanksi administratif yang direkomendasikan oleh Satuan Tugas. (2) Pengenaan sanksi administratif lebih berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan: a. Korban merupakan penyandang disabilitas; b. dampak Kekerasan Seksual yang dialami Korban; dan/atau c. Terlapor atau pelaku merupakan anggota Satuan Tugas, kepala/ketua program studi, atauketua jurusan.

Satuan tugas (Satgas) ini, dibentuk oleh kampus dengan sejumlah persyaratan untuk menangani kekerasan seksual di kampus lewat mekanisme yakni: a. penerimaan laporan; b. Pemeriksaan; c. penyusunan kesimpulan dan rekomendasi; d. pemulihan; dan e. tindakan Pencegahan keberulangan.

Beberapa waktu lalu, dalam kasus Unsri, Satgas inilah yang sempat disebut lamban dalam menangani kasus pelecehan seksual di Unsri sehingga korban melaporkan kasus yang dialaminya ke pihak berwajib. Namun, Wakil Rektor Unsri Prof Zainuddin Nawawi sempat membantah hal ini karena menurutnya Satgas bentukan Unsri sudah bergerak cepat memberikan sanksi terhadap oknum dosen FKIP. Sementara untuk oknum doses Fakultas Ekonomi, pihaknya merasa dihalang-halangi oleh beberapa pihak, sampai akhirnya polisi menetapkan dua oknum dosen itu sebagai tersangka.