Ranub, Cemilan Khas Aceh dengan Sirih Jadi Simbol Memuliakan Tamu

Sirih manis pada etalase para pedagang. (rmolaceh/rmolsumsel.id)
Sirih manis pada etalase para pedagang. (rmolaceh/rmolsumsel.id)

Ranub, sebuah cemilan tradisional khas Aceh yang telah menjadi favorit sejak zaman dahulu, terus menarik perhatian masyarakat dengan cita rasanya yang unik. Terbuat dari campuran gambir, cengkeh, pinang, dan dibalut dengan daun sirih sebagai bungkusnya, Ranub memiliki makna khusus dalam budaya Aceh.


Dulu, daun sirih sering disediakan ketika masyarakat Aceh mengadakan berbagai acara seperti pesta pernikahan, musyawarah besar, sunatan, dan acara lainnya. Ranub menjadi simbol dalam memuliakan tamu dan memberikan kehangatan pada momen-momen istimewa.

Bahan dasar untuk membuat Ranub dapat ditemukan di pasar tradisional Aceh, dan cemilan ini juga mudah dijumpai di pusat Kota Banda Aceh, termasuk di sekitar Masjid Raya Baiturrahman. Pedagang-pedagang seperti Sakdiah menawarkan berbagai macam Ranub, mulai dari Ranub tabeu (sirih hambar) hingga Ranub mameh (sirih manis), bahkan ada bahan dasar Ranub yang bisa diracik sendiri oleh konsumen.

Sakdiah, salah satu pedagang Ranub, menjelaskan selain sebagai camilan, daun sirih Aceh juga memiliki peran penting dalam tradisi perkawinan. Orang tua mempelai membawa dan menyerahkan daun sirih yang dirangkai sebagai ikatan saudara dari kedua keluarga mempelai.

"Dahulu kalau ada musyawarah, sirih juga dihidangkan," kata Sakdiah.

Cemilan ini tidak hanya diminati oleh warga lokal, tetapi juga menarik perhatian wisatawan mancanegara, seperti dari Malaysia. Wisatawan sering mencoba Ranub buatan Aceh dan banyak yang memilih membeli sebagai oleh-oleh.

Sakdiah menyatakan bahwa minat terhadap sirih manis atau sirih hambar dengan rasa kebas akibat cengkeh campurannya cukup tinggi di kalangan berbagai usia, dari anak muda hingga orang dewasa.

"Jadi bukan hanya orang tua saja," ujar Sakdiah.

Harga yang terjangkau juga menjadi daya tarik, dengan Sakdiah menjual dua buah sirih seharga Rp 1 ribu, dan pinang yang sudah di salemdia seharga Rp 25 ribu per bungkus.

Sakdiah mengakui bahwa penjualan biasanya didominasi oleh warga sekitar Aceh Besar dan Banda Aceh, namun saat momen libur sekolah, tahun baru, atau peringatan Islam, omzet penjualan dapat meningkat signifikan.

"Saat itu, kami bisa melayani pelanggan dari berbagai daerah," kata Sakdiah.

Sakdiah menambahkan gerobak dagang mereka merupakan bantuan dari perusahaan pemerintah, dan pelatihan yang diterima didukung oleh beberapa dinas di Aceh. Ia juga mencatat sirih Aceh tidak hanya lezat tetapi juga memiliki manfaat kesehatan yang membuatnya tetap menjadi santapan yang dihargai oleh masyarakat setempat.