Polemik Dosen Predator Seksual, Ramai di Medsos dan Sikap Dingin Unsri

Foto Reza Ghasarma dan diduga chat yang dikirimkan oleh oknum dosen Unsri kepada mahasiswi yang dilaporkan dalam kasus ini. (net/rmolsumsel)
Foto Reza Ghasarma dan diduga chat yang dikirimkan oleh oknum dosen Unsri kepada mahasiswi yang dilaporkan dalam kasus ini. (net/rmolsumsel)

Nama Reza Ghasarma, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (Unsri) mendadak ramai muncul di jagad media sosial (medsos). Bukan tanpa sebab, pria yang sejatinya jadi pemegang amanah untuk mendidik para mahasiswa dan mahasiswi, justru diduga muncul sebagai predator menakutkan bagi mahasiswinya sendiri.


Adanya laporan tiga alumni dan empat mahasiswi Fakultas Ekonomi kepada Tim Advokasi dan Pendampingan korban pelecehan seksual bentukan IKA Unsri, Selasa (7/12) ini, menambah daftar korban asusila sang predator menjadi 10 orang. Inilah yang membuat Reza Ghasarma bermunculan di berbagai lini massa media sosial berikut foto dirinya.

Viralnya Reza Ghasarma di medsos tidak sendirian, namun berbarengan dengan dosen predator sejenis lainnya yakni, Adhitya, yang tercatat sebagai dosen FKIP Unsri, yang lebih dahulu jadi tersangka dan ditahan di Mapolda Sumsel atas laporan seorang mahasiswinya. 

Profil Reza juga semakin mudah dilacak. Sayangnya, selain fotonya, banyak pula yang menampilkan Reza saat berfoto dengan keluarga. Bisa ditebak, begitu banyak netizen yang membully dan mengecam ulah Reza. Hanya saja, ketika Kantor Berita RMOLSumsel melakukan penelusuran, seluruh akun medsos milik Reza sudah tidak aktif lagi. 

Kasus yang tergolong fenomenal di Sumsel pada penghujung tahun ini semakin ramai, setelah beredarnya bukti chat antara diduga Reza dengan salah satu korbannya yang mengajak 'bimbingan spesial'.

Petisi copot Rektor Unsri di laman change.org. (tangkapan layar/rmolsumsel)

Muncul Petisi Copot Rektor Unsri

Ada satu hal yang membuat publik Sumsel dan jagad maya bertanya-tanya, lantaran sikap dari internal Unsri yang terkesan dingin, seolah mengabaikan polemik yang terus berkembang liar di tengah masyarakat. Makanya, dari tanda tanya tersebut, muncul sebuah petisi 'Copot Rektor Unsri dan Pecat Dosen Cabul' di situs change.org. Ini tentu disinyalir akibat dari ketidakpuasan dalam penanganan kasus ini. Petisi itu ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Ketua DPR RI Puan Maharani, Mendikbudritek dan Dikti Nadiem Makarim, Gubernur Sumsel Herman Deru dan Ketua DPRD Sumsel Anita Noeringhati.

Hal yang menjadi sorotan dalam petisi yang telah ditandatangani lebih dari 300 orang pada Selasa malam itu, diantaranya penanganan kasus pelecehan seksual di lingkungan Unsri yang terkesan ditutupi, serta ketidakhadiran Unsri saat dipanggil DPRD Sumsel dalam rapat dengar pendapat. 

"Sikap Rektor ini membahayakan keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, sehingga tidak ada pilihan lain selain menuntut dicopotnya Rektor dan jajarannya demi menjaga keberlangsungan pendidikan sebagaimana layaknya. Juga demi melindungi anak anak kita menjadi mangsa para predator di masa depan akibat ketidakmampuan pimpinan lembaga pendidikan menjalankan fungsinya pihak terkait perlu mencopot Dosen tersebut. Unsri perlu di revolusi !!!" tulis petisi itu.

Pemecatan Dosen Predator Seksual Ada Mekanismenya 

Dengung pemecatan terhadap oknum dosen predator pelecehan seksual di Unsri semakin nyaring terdengar. Meski demikian, tidak serta-merta Unsri bisa memecat dosen tersebut meski desakan dari berbagai elemen terus mengalir. 

Ada sejumlah persyaratan terkait pemberhentian ini seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.17 tahun 2020 tentang perubahan atas PP No.11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yakni berupa Pengelolaan Pegawai Negeri Sipil untuk menghasilkan pegawai yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Berdasarkan informasi yang dihimpun, kedua oknum dosen yang dilaporkan telah melakukan perbuatan cabul ini berstatus sebagai PNS, maka pemberhentiannya juga harus mengikuti aturan yang berlaku. Pertama dalam pasal 250, disebutkan bahwa PNS dapat diberhentikan secara tidak hormat apabila melakukan hal-hal berikut: (1) Melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan; (3) Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; dan (4) Dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

Kedua dalam pasal 254, disebutkan bahwa PNS wajib mengundurkan diri dengan ketentuan berikut: (1) Ditetapkan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati/Wali Kota dan Wakil Bupati/Wakil Wali Kota oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum. Ketiga dalam Pasal 280, disebutkan bahwa PNS yang menjadi tersangka akan diberhentikan sementara sejak dilakukan penahananan. Pemberhentian sementara itu dimulai sejak yang bersangkutan ditahan. 

Darmawan, Kuasa hukum tersangka Adhitya mengatakan, kliennya belum diberhentikan dan baru mendapat sanksi administratif dari kampus. Ia juga membantah jika kliennya melakukan perbuatan yang dituduhkan. "Ada empat sanksi (administratif), penundaan kenaikan pangkat dan jabatan fungsional, penundaan pengajuan sertifikasi dosen, penundaan kenaikan gaji selama empat tahun dan diberhentikan sebagai Kepala Laboratorium," ungkapnya kepada awak media. 

Bagindo Togar Butar Butar. (rmolsumsel)

Unsri Dinilai Lecehkan DPRD sebagai Wakil Rakyat

Bergulirnya kasus pelecehan seksual di lingkungan Unsri beberapa pekan ini sampai juga ke telinga wakil rakyat Sumsel. Muaranya, anggota DPRD Sumsel melayangkan surat undangan kepada pihak Unsri untuk hadir pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Senin (6/12). Tujuannya untuk membuka kasus ini dan mempercepat penyelesaiannya agar tidak berlarut. 

Hanya saja, tak ada satupun perwakilan Unsri yang hadir dalam rapat tersebut, meski semua stakeholder lain yang juga diundang, telah meluangkan waktu menghormati anggota dewan sebagai wakil dari masyarakat Sumsel. Hal ini sontak membuat Ketua DPRD Sumsel, Anita Noeringhati dan jajarannya geram. Lebih lagi, sehari setelahnya justru pihak Unsri yang 'memanggil' DPRD Sumsel, mengajak rapat. 

"Jelas, tindakan itu sama saja seperti melecehkan DPRD Sumsel. Jadi, sudah dua kali DPRD itu dilecehkan Unsri. Pertama, tidak hadir memenuhi panggilan rapat dengar pendapat dan kedua justru mereka memanggil balik DPRD Sumsel. Jelas sekali ini pelecehan," ujar eks Ketua IKA Unsri, Bagindo Togar dihubungi RMOLSumsel, Selasa (7/12).

Pejabat Unsri, tegas Bagindo, sudah gagal paham dengan permasalahan yang dihadapi. Unsri dinilai tidak mampu mengatasi dan menjawab tuntutan yang muncul, seiring dengan bergulirnya kasus pelecehan seksual ini. "DPRD Sumsel itu merupakan representasi seluruh rakyat Sumsel. Kondisi malahan berbalik, justru kini pihak Unsri yang memanggil pihak DPRD Sumsel. Lah, yang bermasalah terkait pelecehan seksual itu siapa? DPRD atau Unsri?" tegas dia. 

Togar melanjutkan, masalah pelecehan seksual terhadap mahasisiwi yang dilakukan oknum dosen ini telah menjadi isu nasional dan membuat malu Sumsel, serta almamater dan seluruh civitas akademika Unsri. Sehingga harus segera diselesaikan hingga ke akarnya.

Kasus ini akan berdampak luas pada menurunnya mutu dan kualitas pendidikan yang dihasilkan Unsri. Terlebih, baru-baru ini muncul petisi untuk mencopot rektor Unsri dan memecat dosen cabul di situs change.org yang menurut Togar merupakan buah dari lambatnya penanganan kasus dan lemahnya kepemimpinan di Unsri. 

"Padahal baru satu kasus (permasalahan) seksual saja, mungkin masih banyak kasus lain, tetapi cara menghadapinya seperti tidak terdidik. Kejadian ini harus jadi peringatan, harus ada pembenahan menyeluruh di Unsri. Ini menjadi akumulasi karena sejak beberapa tahun terakhir, Unsri ini selalu merosot peringkatnya tidak seperti dulu. Jadi wajar saja kalau ada petisi mintak rektor dicopot," tandasnya.

Rektor Unsri Prof.Anis Saggaff. (rmolsumsel)

Pejabat Unsri Telah Bekerja Maksimal Mengungkap Kasus Pelecehan Seksual 

Menanggapi mangkirnya Unsri saat diundang DPRD Sumsel Senin kemarin, Wakil Rektor I Prof Zainuddin Nawawi mengklaim, sama sekali tidak tahu mengenai surat udangan tersebut. "Mungkin rektor yang tahu, saya tidak tahu sama sekali," ungkapnya. 

Namun, dijelaskan Zainuddin, pihaknya telah bekerja maksimal untuk kasus ini. Dimulai sejak kasus ini muncul sekitar sebulan yang lalu. Unsri langsung membentuk satgas dan melakukan penyelidikan internal. Dalam kurun waktu dua minggu telah menyelesaikan penyelidikan dan melaporkan kasus pertama di Fakultas FKIP ke Kemendikbudristek dan Dikti. 

"Nah untuk kasus ini (Fakultas Ekonomi), saya minta waktu satu bulan. Tapi dihalang-halangi terus, jadi tidak selesai-selesai. Kalau yang pertama sudah beres, sudah di polisi dan ditahan. Sekarang tinggal ikutilah kasus hukumnya," katanya seraya menambahkan, menolak jika pihaknya disebut lambat dalam penanganan kasus pelecehan seksual ini.

Justru, kata dia, semua pihak harus bekerjasama menjawab permasalahan ini. Termasuk mengungkap hal yang sebenarnya terjadi dalam laporan kedua yang melibatkan oknum dosen di Fakultas Ekonomi. 

"(Kasus) ini (Fakultas Ekonomi) aku minta satu bulan. Tapi dihalangi terus. (Padahal) kita minta yang sebenarnyo. Mangko pacak diselesaikan dengan benar. (Korban) ngomongnya minta keadilan, cuma (yang terjadi hanya) sepihak. (Oknum dosen RZ) ini sudah mengaku. Kalau ternyata pengakuannya salah, nanti akan dapat hukuman dua kali," ungkap Zainuddin.

Dia mengatakan, sebagai institusi besar, Unsri selalu siap untuk menyelesaikan permasalahan seperti ini. Sebab, sebagai lembaga pendidikan, Unsri tidak hanya mengajarkan mata pelajaran tetapi juga etika dan moral. Untuk itu, Zainuddin mengajak semua pihak untuk kembali kepada awal mula permasalahan. 

"Jadi back to basic, dosen jadilah dosen, mahasiswa jadilah mahasiswa. (Mahasiswa) Jangan ngepek, jangan minta kemudahan lulus. Dosen juga jangan mudahkan (kelulusan), itu saja. Rasoku banyak yang nangis kalau dijalankan nian, (karena) tidak tamat, DO (drop out). Jadi janganlah (mau) enak sendiri," cetusnya.