New Normal di Sektor Pendidikan Sebaiknya Jangan Gegabah

Pemerintah diwanti-wanti untuk tidak gegabah mengambil keputusan memberlakukan new normal di sektor pendidikan.


Risikonya terlalu besar karena anak-anak belum paham tentang physical distancing.

"Sekolah di Indonesia beragam dengan beragam karakteristiknya. Kalau nanti diberlakukan new normal untuk sektor pendidikan, harus dianalisa betul-betul," kata Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara kepada JPNN.com, Kamis (28/5).

Dia menyebutkan, sekolah di Indonesia terbagi tiga.

Pertama, sekolah besar terutama di perkotaan.

Kedua, sekolah sedang, jumlah siswa normal.

Ketiga, sekolah kecil, jumlah siswa kurang.

"Penerapan new normal di sekolah mungkin hanya cocok di sejumlah sekolah kecil di pinggiran desa yang tidak ada wabah. Kota besar dengan siswa besar, tenaga pendidik kurang, plus fasilitas terbatas akan sangat berisiko menjadi klaster," bebernya.

Bila sekolah kecil dengan siswa kurang di daerah perdesaan atau tertinggal cenderung aman.

Anak didik hanya melintasi pinggiran sawah, hutan dan sungai.

Namun, sekolah yang berada di kota besar, anak didik lebih rawan tertulari Covid-19. Sebab, sering melintasi ruang publik, keramaian dan fasilitas menggoda lainnya yang rawan.

Walaupun anak diduga lebih kuat imunnya, faktanya di sejumlah negara anak didik mulai menjadi masalah baru sebagai korban Covid-19.

Kemendikbud, lanjutnya, harus mempertimbangkan dengan cermat, cerdas, hati-hati dan tepat. Hak pendidikan anak tidak lebih utama dibanding hak sehat dan keselamatan.

"Kalau mau spekulasi, masuk sekolah paling cepat awal Agustus. Itu pun setelah dipastikan mulai Juni ini wabah terus menghilang dan tidak ada lagi yang terpapar," katanya.

"Kita tidak boleh parno dan berhati-hati berlebihan, kecuali dengan nasib anak didik. Mengapa? Karena mereka adalah harta yang paling berharga di negeri ini," pungkasnya.