Menapak Jejak Dugaan Pencemaran Sungai Penimur Akibat Aktivitas Pertambangan [BAGIAN PERTAMA]

Foto udara pemukiman warga di Kelurahan Payu Putat, Kecamatan Prabumulih Barat, Kota Prabumulih yang bersebelahan dengan Sungai Lematang. Kawasan ini juga merupakan bagian paling hilir dari Sungai Penimur yang merupakan anak Sungai Lematang.
Foto udara pemukiman warga di Kelurahan Payu Putat, Kecamatan Prabumulih Barat, Kota Prabumulih yang bersebelahan dengan Sungai Lematang. Kawasan ini juga merupakan bagian paling hilir dari Sungai Penimur yang merupakan anak Sungai Lematang.

Sejak beberapa tahun terakhir, Sungai Penimur yang berada di belahan wilayah Prabumulih dan Muara Enim mengalami perubahan kondisi yang diduga tercemar akibat aktivitas pertambangan. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan pada ekosistem dan ekologi di sekitar sungai hingga ke bagian hilir.


Tak hanya itu, kehidupan masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidup mereka dari Sungai Penimur juga ikut terdampak. Nah, area sungai yang tercemar itu berada di bagian hulu sungai.

Informasi yang dihimpun dari warga setempat, menyatakan jika pencemaran terjadi lantaran aktivitas perusahaan tambang, yakni PT Musi Prima Coal (PT MPC), yang disinyalir tidak mengikuti dokumen rencana penambangan yang sudah disetujui pemerintah pada tahun 2016 silam.

Tim Kantor Berita RMOLSumsel.id melakukan penelusuran mendalam guna mendapatkan semua informasi tersebut.

Jumlah Lebak Lebung Berkurang Ancam Tradisi Lelang Masyarakat  

Penelusuran ini dimulai pada bagian hilir Sungai Penimur yang berada di Kelurahan Payu Putat, Kecamatan Prabumulih Barat, Kota Prabumilih yang terbentuk pada tahun 2007 silam. Lokasinya sendiri persis berada di pinggir Sungai Lematang. Di kawasan Kelurahan ini juga ternyata dilintasi aliran anak Sungai Lematang, yaitu Sungai Pendecul, Sungai Keroh yang tergabung dalam Batang Hari Limau.

Khusus di Kelurahan Payu Putat ini ada sekitar 1.210 Kepala Keluarga (KK) yang memang bergantung pada sungai. Termasuk budaya dan tradisi masyarakat setempat yang cukup dikenal, yaitu Lelang Lebak Lebung. Proses ini merupakan pengelolaan perairan umum dengan sistem lelang yang menurut sejarah dimulai pada zaman kesultanan Palembang.

Lebak lebung merupakan perairan umum yang terdiri dari sungai, danau dan rawa-rawa (lebak) dan tanah rendah yang tergenang air (lebung). Pemenang lelang (pengemin), kemudian memiliki hak penuh untuk menangkap ikan dan hasil perairan lebak lebung.

“Lelang ini hasilnya untuk pembangunan. Jadi ini dari masyarakat dan untuk masyarakat itulah. Disamping dana pemerintah, pembangunan di sini juga dibantu oleh hasil dari lelang lebak lebung ini,” Ketua RT 01 RW 08 Kelurahan Payu Putat, Anwar Salim alias Jefri.

Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir, tradisi masyarakat tengah terancam. Jumlah lebung di wilayah itu mulai berkurang. Dari sebelumnya 15 lebung, kini hanya menyisakan sembilan lebung saja yang bisa di lelang.

Berdasarkan data dari Kelurahan Payu Putat, lebung yang ada saat ini adalah Lebung Danau Manggal, Lebung Manggis, Sungai Keroh, Lebun Belanti, Pulau Telang, Danau Musi, Lebung Jawi, Lebung Payu Putat dan Lebung Aur. Bukan tanpa sebab, hasil ikan di Sungai Penimur sudah sangat jauh berkurang.

“Sejak beroperasinya tambang batu bara di desa tetangga (Desa Gunung Raja) itulah. Air dalam lebung mulai berkurang. Selain itu, sungai kami juga menjadi kotor,” terangnya.

Hasil tangkapan ikan warga di Danau Manggal. Warga hanya mendapatkan ikan berukuran kecil. (rmolsumsel.id)

Apa yang dirasakan oleh warga Payu Putat ini dibenarkan oleh Lurah, Firmansyah Trijaya SP MSi melalui Sekretaris Lurah, Dian Brori. Pencemaran yang terjadi di Sungai Penimur memberikan dampak yang sangat buruk kepada kehidupan masyarakat.

Dijelaskannya, beberapa tahun lalu sebenarnya kasus pencemaran ini sudah ditangani langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sumsel. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda perbaikan Sungai Penimur.

“Yang didapat oleh warga kami hanya sebatas ganti rugi dari pihak PT GH EMMI dan PT MPC, itupun dalam perkara pembebasan atas lahan milik warga yang masuk di wilayah pertambangan bukan ganti rugi karena pencemaran dari limbah mereka,” cetusnya.

Bergeser ke arah yang lebih sedikit ke hulu dari lokasi pertama di Kelurahan Payu Putat, penelusuran dugaan pencemaran ini membawa tim Kantor Berita RMOLSumsel.id ke lokasi kedua, yakni Dusun Talang Kapuk yang berjarak sekitar 5 kilometer dari lokasi pertama tersebut.

Dalam penelusuran ini, tim didampingi Zulkarnain (45) dan Madi (47), warga Kelurahan Payu Putat. Keduanya lahir dan besar di kawasan paling hilir di Sungai Penimur ini, sehingga mereka tahu betul dan merasakan perubahan yang terjadi.

Mereka membawa tim menembus kebun karet untuk mencapai bagian Sungai Penimur yang pernah menjadi tempat pemandian warga.

“Kalau dulu lebar Sungai Penimur sekitar 3-4 meter. Ada jembatan yang dibuat tinggi. Tapi sekarang sudah menyusut dan terlihat seperti parit. Air tidak mengalir lagi seperti dulu, sungainya sudah mengecil,”kata Zulkarnain.

Kondisi air Sungai Penimur yang dulunya sempat menjadi lokasi pemandian umum warga Kelurahan Gunung Kemala (rmolsumsel.id)

Tim juga memastikan kondisi sungai yang telah menyusut dan dianggap hilang oleh warga tersebut. Kondisi airnya saat ini sudah kuning pekat kecokelatan, sedikit berminyak dan sangat tidak layak untuk digunakan.

Dengan menghabiskan waktu sekitar 15 menit berjalan kaki dari lokasi bekas tempat pemandian tersebut, tim tiba di Dusun Talang Kapuk, Kelurahan Gunung Kemala. Salah satu warga bernama Adong menyambut tim dengan cerita pencemaran yang tidak kalah seru.

“Kalau dulu, ikan masih cukup banyak. Sempat jadi spot mancing. Tapi sekarang (Sungai Penimur) kondisinya tidak pernah baik. Apalagi kalau hujan. Airnya menghitam, mungkin sisa batu bara,”kata Adong.

Sehingga saat ini warga sekitar tidak lagi memanfaatkan air dari Sungai Penimur. Untuk mandi, warga harus menuju Sungai Lematang yang berada di ujung Kelurahan Payu Putat. “Memang cukup jauh. Tapi yah daripada pakai air yang kotor itu,” ucapnya.

Tim terus beranjak naik ke hulu, menuju lokasi ketiga yang masih berada di Desa Gunung Kemala. Secara kebetulan, Zulkarnain yang mendampingi tim saat penelusuran, memiliki tanah seluas 15 hektar yang sudah ditanami karet disini. Lokasinya juga berdekatan dengan  wilayah eksplorasi Tambang I (satu) PT Musi Prima Coal (MPC). Namun, tanahnya itu belum dieksplorasi dan dibiarkan menjadi hutan oleh pihak perusahaan.

Aliran Sungai Penimur di bekas kebun milik Zulkarnain yang nyaris hilang yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari areal tambang PT MPC (rmolsumsel.id)

Secara langsung, tim melihat aliran Sungai Penimur yang berada di dekat tanah Zulkarnain ini, lebih kecil lagi dari yang kami temukan sebelumnya. “Sekarang sudah menjadi parit, tidak ada air yang mengalir. Kalaupun hujan besar, disini air bah muncul dan merusak kebun karet warga. Ini yang kami sesalkan,”ungkap Zulkarnain.