Pelaporan 16 dugaan kejahatan lingkungan di sembilan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara di Pulau Sumatera, yang dilakukan masyarakat sipil tergabung dalam Koalisi Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB), hingga kini telah berjalan satu bulan.
- Danantara Dinilai jadi Alat Melanggengkan Industri Batubara, Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Hentikan Proyek DME
- Jangan ada PLTU Baru, STuEB Serahkan Policy Brief Transisi Energi ke JETP
- Pesan Baradwipa: Stop Candu Batubara
Baca Juga
Namun, laporan tersebut belum juga diproses verifikasi oleh petugas Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Hal ini menimbulkan tudingan adanya dugaan pengabaian terhadap laporan tersebut, terlebih lagi saat ini situs pengaduan https://pengaduan.menlhk.go.id/ terus mengalami gangguan atau perbaikan yang menghambat proses menyampaikan laporan kerusakan lingkungan.
Di Sumsel sendiri laporan dugaan kejahatan lingkungan ini dilakukan oleh salah satu perusahaan yang berlokasi di Lahat yaitu PT Priyamanaya.
Perusahaan ini diduga melakukan kejahatan lingkungan berupa pembuangan limbah abu bawah dan abu atas atau yang lebih dikenal dengan fly ash bottom ash (FABA).
Selain itu, bentuk kejahatan lainnya adalah, penutupan Sungai Niru dalam proyek konstruksi PLTU Sumsel 1 di Muara Enim Sumatera Selatan.
Konsolidator STuEB, Ali Akbar menyatakan bahwa temuan ini menunjukkan bahwa 9 perusahaan secara sengaja dan terang-terangan mengangkangi peraturan tentang pengelolaan limbah FABA, peraturan tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ilegal logging atau perambahan kawasan hutan.
Fakta ini juga menunjukan bahwa perusahan ini tidak peduli dengan keselamatan lingkungan yang berpotensi meningkatkan penderitaan rakyat baik pada sektor kesehatan maupun sektor ekonomi dalam bentuk turunnya layanan ekosistem.
"Di Lahat sendiri abu ini mengalir ke Sungai Tembesi dan Sungai Pule, di mana perusahaan secara sengaja membuang FABA ke media lingkungan dan menyebabkan tanah dan air tercemar," katanya.
Ditambabkan, Ketua Yayasan Anak padi Lahat Sumatera Selatan, Sahwan, pengaduan yang dilakukan lewat aplikasi Kementerian LH itu seharusnya mempermudah akses masyarakat dan efisiensi kinerja pemerintah dalam menerima laporan kejahatan lingkungan, namun laporan pihaknya justru tidak digubris atau direspon.
"Setiap hari masyarakat Desa Muara Maung dan Kecamatan Merapi Barat menghirup debu dari penggalian batubara dan abu dari pembakaran PLTU Keban Agung. Dampaknya sudah ribuan orang terkena ISPA, belum lagi merosotnya hasil panen petani palawija karena tanah tercemar," kata Sahwan.
Terpisah, Sumsel Bersih Sumatera Selatan, Boni Bangun mengatakan PLTU Sumsel 1 di Muara Enim yang belum produksi juga telah menimbulkan dampak negatif atas kerusakan lingkungan, mulai rusaknya Bukit Kancil yang merupakan hutan atau wilayah resapan air serta pemindahan anak Sungai Niru dalam pendirian PLTU.
Hal ini mengakibatkan potensi bencana alam semakin tinggi dan wilayah kelola masyakarat semakin sempit.
"Seharusnya pemerintah harus lebih peka terhadap ancaman yang akan berdampak bagi masyarakat ring 1 PLTU. Kami mendesak pemerintah pusat hingga daerah untuk segera melakukan evaluasi terhadap keberadaan PLTU Sumsel 1," kata Boni.
Di lain tempat, LBH Padang, Alfi Syukri menilai hal ini menunjukkan telah terjadi kekosongan hukum dalam menjalankan konstitusi untuk melindungi lingkungan dan rakyat.
Padahal sesuai Peraturan Pemerintah nomor 22 Tahun 2021 dan Permen LH 9 Tahun 2010 menegaskan bahwa negara wajib menindaklanjuti setiap pengaduan atas pelanggaran lingkungan paling lambat 10 hari kerja.
"Ini bukan sekadar administrasi, tapi pembiaran atas penjarahan sumber daya alam. Yang dikorbankan bukan hanya hari ini, tapi masa depan generasi kita," tutupnya.
- Danantara Dinilai jadi Alat Melanggengkan Industri Batubara, Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Hentikan Proyek DME
- UU Minerba Terlalu Memanjakan Pengusaha
- KPK Didesak Usut Pengusaha Inisial HP di Kasus Retrofit PLTU Bukit Asam