Kurangi Dominasi Dolar, China Kian Gencar Lakukan Dedolarisasi

Ilustrasi dolar. (ist/rmolsumsel.id)
Ilustrasi dolar. (ist/rmolsumsel.id)

China semakin menggencarkan upayanya dalam melakukan diversifikasi Dolar, dengan melepas obligasi AS dalam jumlah besar pada kuartal pertama tahun ini.


Hal tersebut menjadi bukti adanya peningkatan upaya untuk mengalihkan negara tersebut dari aset-aset yang berbentuk mata uang Dolar.

Mengutip Bloomberg pada Jumat (24/5), berdasarkan data dari Departemen Keuangan AS, Beijing diketahui telah melepas gabungan Surat Utang dan Obligasi AS sebesar 53,3 miliar Dolar AS (Rp856 triliun) pada kuartal pertama.

Menurut kepala ahli strategi valuta asing dan suku bunga Asia, Stephen Chiu upaya China untuk menekan Dolar ini diprediksi akan terus meningkat di tengah perang dagang yang semakin sengit antara Beijing dan Washington.

"Penjualan sekuritas AS oleh China dapat meningkat seiring berlanjutnya perang dagang AS-China terutama jika Donald Trump kembali sebagai presiden," kata Chiu.

Sejauh ini, Presiden AS Joe Biden sendiri telah mengumumkan kenaikan tarif besar-besaran pada sejumlah impor China. Namun, Trump mengatakan bahwa ia kemungkinan akan mengenakan tarif lebih dari 60 persen pada barang-barang China jika terpilih nanti.

Business Insider melaporkan, ada prediksi yang memperkirakan bahwa China juga telah menjual Surat Utang AS senilai 300 miliar Dolar AS (Rp4.817 triliun) antara tahun 2021 dan pertengahan tahun 2023.

Saat ini, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu nampaknya kembali mempercepat langkah mundur dari aset-aset AS, karena hubungan perdagangan kedua negara yang tampaknya tidak kunjung membaik.

Pada tahun lalu, China sendiri sudah melepas utang AS untuk menopang posisi Yuan, mengingat penurunan yang cukup besar terhadap Dolar. Hal ini mungkin terjadi lagi, karena greenback telah mengalami reli besar-besaran akibat kebijakan moneter AS yang hawkish.

China juga diketahui melakukan dedolarisasi cadangan devisanya sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas untuk mendiversifikasi keuangan global, dan mengurangi dominasi Dolar.

Meski demikian, faktanya sampai saat ini Indeks Dolar AS telah mencapai level 4,9 persen tahun ini, sementara Yuan masih melemah. Kondisi tersebut telah membuat impor ke negara itu menjadi mahal dan dikhawatirkan dapat menjadi tren yang semakin buruk.