Komisi VIII DPR Dorong Revisi Total UU Haji

Hidayat Nur Wahid (tengah), Jurnalis RMOL Raiza Andini (kiri)/RMOL
Hidayat Nur Wahid (tengah), Jurnalis RMOL Raiza Andini (kiri)/RMOL

Komisi VIII DPR RI mendorong reformasi total dalam penyelenggaraan ibadah haji, menyusul berbagai persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan haji tahun 2025.


Hal itu disampaikan Anggota Komisi VIII DPR RI, Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid, dalam forum Dialektika Demokrasi bertema "Strategi Timwas Haji Menaikkan Standar Layanan dan Keselamatan Jamaah", yang digelar di Komplek Parlemen, Senayan, Kamis 5 Juni 2025.

Menurut Hidayat, rencana peralihan penyelenggaraan haji dari Kementerian Agama ke Badan Penyelenggara Haji mulai 2026 perlu dibarengi revisi Undang-Undang (UU) Haji secara menyeluruh. 

Ia menilai revisi parsial hanya akan memperlemah posisi Indonesia dalam diplomasi dan koordinasi dengan otoritas Arab Saudi.

“Arab Saudi punya Kementerian Haji, sedangkan kita ke depan hanya badan. Ini tidak setara dalam konteks komunikasi antarnegara. Maka, revisi regulasi harus menyasar juga pada lembaga yang berwenang mengurus haji dan umrah,” ujarnya.

Hidayat juga menyoroti sejumlah persoalan krusial yang masih terjadi di lapangan, antara lain pemisahan suami-istri dalam kloter keberangkatan, koper jemaah yang belum sampai, pengurangan tim medis, hingga insiden tragis jemaah yang meninggal di tengah gurun karena salah rute.

"Jumlah jemaah wafat tahun ini sudah melebihi tahun lalu. Salah satunya karena pelayanan kesehatan tidak maksimal akibat berkurangnya tim medis," kata Wakil Ketua MPR RI ini.

Lebih lanjut, Politikus Senior PKS itu menilai lemahnya komunikasi diplomatik menyebabkan sejumlah kebijakan penting seperti pembatalan Visa Furoda dan tanazul diumumkan mendadak. Padahal, jika informasi disampaikan lebih awal, dampaknya bisa diminimalkan.

"Ketika Visa Furoda dibatalkan tiba-tiba tanggal 26 Mei, banyak jemaah dan travel yang sudah membayar ratusan juta rupiah. Ini kerugian besar yang bisa dicegah jika komunikasi antarotoritas berlangsung terbuka dan tepat waktu," jelas Hidayat.

Sebagai solusi jangka panjang, Hidayat juga mengusulkan agar Indonesia memperjuangkan perubahan formula kuota haji di tingkat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dari 1 jemaah per 1.000 penduduk menjadi 2 per 1.000.

"Jumlah umat Islam sudah jauh bertambah, infrastruktur Saudi juga sudah jauh lebih baik. Ini saatnya kuota diperbarui. Jika formula ini diterapkan, target Saudi untuk melayani 6 juta jemaah dalam Visi 2030 bisa lebih cepat tercapai, dan antrean haji Indonesia bisa terurai," pungkasnya.