Koalisi Masyarakat Sipil Pertanyakan Putusan MK Terhadap Uji Materi UU PSDN

Gedung MK/net
Gedung MK/net

Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak perkara judicial review atau uji materi UU 23/2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara yang dimohonkan oleh Imparsial, KontraS, Public Virtue Institute, PBHI Nasional, Gustika Jusuf Hatta, Ikhsan Yosarie, dan Leon Alvinda.


Dalam amar putusan yang dibacakan langsung oleh Ketua MK Prof Anwar Usman menyatakan menolak permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya dalam pokok permohonan yang terbagi atas dua poin.

Pertama, menyatakan pokok permohonan pemohon Pasal 75 dan Pasal 79 UU 23/2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (Lembaran Negara RI 2019 Nomor 211, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6413) tidak dapat diterima.

"Kedua, menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Anwar Usman.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI menilai ketentuan yang mengatur soal proses rekrutmen calon komponen cadangan yang dinyatakan lulus administrasi dan kompetensi serta wajib mengikuti pelatihan dasar militer merupakan wujud kesiapsiagaan negara.

"Kesiapsiagaan negara ini apabila komponen cadangan dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan bagi kepentingan pertahanan dan keamanan negara Indonesia," kata Hakim MK Wahiduddin Adams, saat pembacaan putusan perkara Nomor: 27/PUU-XIX/2021, di Jakarta, Senin (31/10).

Terhadap putusan ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan bahwa putusan MK tersebut tidak konsisten dengan amanat UUD 1945, Demokrasi dan HAM.           

"Kami memandang, MK tidak konsisten antara pertimbangan dengan putusan yang diambil serta dalam beberapa pertimbangan gagal memahmi maksud konstitusi," ujar peneliti Imparsial Hussein Ahmad dalam keterangannya, Senin (31/10).

Dia menguraikan, MK tidak konsiten pada poin beberapa hal. Pertama, MK dalam pertimbangannya sendiri mengakui bahwa definisi ancaman dalam UU PSDN kabur dan menciptakan ketidakpastian hukum. Kendati demikian, alih-alih mebatalkan pasal tersebut, MK justru memerintahan pembentuk undang-undang untuk merevisi pengaturan tersebut melalui revisi UU PSDN yangt telah masuk Prolegnas yang sejatinya tidak dibenarkan dalam konteks hukum.

 

Kedua, dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa dalam hal penetapan Komponen Candangan Manusia, Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Buatan (SDB) dan Sarana dan Prasaranan Nasional (Sarpranas) harus demokratis dan menghomrati hak asasi manusia. Meski argumentasi MK telah benar, MK seolah tidak berani menyatakan bahwa penetepan sepihak yang dapat dilakukan oleh Menteri Pertahanan sebagaimana diatur dalam UU PSDN adalah keliru, tidak demokratis dan berpotensi melanggar HAM.

"Bagaimana mungkin penetapan sepihak Menhan tanpa adanya kesukarelaan oleh pemilik SDA, SDB, dan Sarpranas tanpa adanya mekanisme penolakan dapat dikatakan demokratis dan seusia dengan HAM," terang Hussein.

Ketiga, lanjutnya petimbangan MK yang menyatakan bahwa UU PSDN sudah mengakomodir prinsip Consentious Objection oleh karena pemerintah tidak mewajibkan warga negara mengikuti komponen cadangan adalah sama sekali tidak memahami pokok permasalahan.

"UU PSDN memang benar tidak mewajibkan warga negara untuk mengikuti Komcad, akan tetapi UU PSDN tidak sama sekali memberikan mekanisme penolakan (prinsip Consentious Objection) bagi warga negara apabila telah mengikuti Komcad dan malah terhadap Constious Objector (Komcad) justru diancam dengan hukuman pidana," jelasnya.

 

Keempat, dalam pertimbangannya MK mengakui bahwa sistem peradilan militer harus direformasi sebagaimana amanat reformasi yang tertuang dalam Tap MPR VII/2000 yang salah satu pokoknya membagi kekuasaan peradilan sipil dan militer serta juga memerintahkan TNI untuk tunduk pada kekuasaan peradilan umum (sipil) dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Kendati berpendapat demikian, kata dia, MK dalam putusan tidak konsisten dengan tidak membatalkan pasal yang mempidanakan Komcad (sipil) dalam Peradilan Militer.

 

Kelima, dalam pertimbanhan MK mengakui bahwa dalam hal untuk menghadapi ancaman militer TNI merupakan komponen utama, didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Sedangkan untuk menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintahan di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama sebagaimana Pasal 7 UU Pertahanan Negara.

Konsekuensi dari pernyataan tersebut, kata Hussein lagi, seharusnya komponen cadangan yang dibuat Kemhan hanya ditujukan untuk kepentingan membantu komponen utama yakni TNI dalam pertahanan negara dalam rangka menghadapi ancaman militer atau kemungkinan perang dengan negara lain.

Sedangkan untuk menghadapi ancaman selain ancaman militer, kementerian pertahanan tidak tepat untuk membentuk komponen cadangan, karena komponen utama menghadapi ancaman selain ancaman militer adalah lembaga di luar bidang pertahanan sebagaimana dimaksud Pasal 7 UU Pertahanan Negara.

"Dengan dasar pertimbangan ini hakim MK harusya mengabulkan gugatan pemohom agar komponen cadangan digunakan untuk hadapi ancaman militer saja (perang) dan tidak untuk ancaman non militer dan hibrida. Namun MK malah menolak gugatan pemohon padahal dasar pertimbanganya sudah jelas," urainya. 

Keenam, Mahkamah Konstitusi juga kacau dan keliru dalam dasar konseptualnya di dasar pertimbangannya dan keputusanya. Salah satunya MK menyebutkan bahwa Polisi adalah masyarakat sipil sehingga sama dengan ormas dan karenanya diklasifikasikan sebagai komponen pendukung sehingga pengaturan UU PSDN sudah benar.

Padahal dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”

"Dalam negara demokrasi polisi bukan masyarakat sipil tetapi institusi sipil dan alat negara untuk menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakkan hukum," jelasnya.

"Dengan demikian, pertimbangan dan putusan MK yang menyebutkan bahwa Polisi adalah bagian masyarakat sipil adalah sesat pikir," demikian Hussein.