Kebijakan BPHTB di Palembang Melukai Rakyat

Wakil Ketua Komisi V DPRD Sumsel, Mgs Syaiful Padli. (Dudi Oskandar/rmolsumsel.id)
Wakil Ketua Komisi V DPRD Sumsel, Mgs Syaiful Padli. (Dudi Oskandar/rmolsumsel.id)

Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang untuk menerapkan ketentuan besaran pajak tempat hiburan dan pembebasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) mulai 1 Juli 2021, kini mendapat kecaman dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumsel. Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai melukai rakyat.


Wakil Ketua Komisi V DPRD Sumsel, Mgs Syaiful Padli mengatakan kebijakan Pemkot Palembang untuk kesekian kalinya kembali melukai rakyat dan kini membuat rakyat terpuruk.

"Pastinya kebijakan pengenaan pajak tersebut kian menyengsarakan rakyat. Ini juga sangat kontradiktif dengan agenda pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19 yang masih berkecamuk saat ini," kata Syaiful, Jumat (11/6).

Lebih jauh, menurut Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPRD Sumsel ini secara tegas pihaknya menolak rencana pemerintah kota  ini, karena di saat masyarakat lagi terengah-engah untuk mencari sesuap nasi di tengah pandemi, sisi lain pemerintah mengusung kebijakan yang sangat tidak pro rakyat. 

"Pengaruhnya sangat jelas apabila ini diberlakukan daya beli masyarakat akan kian turun dan mengakibatkan naiknya angka kemiskinan," keluhnya.

Sebelumnya Kepala Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang Sulaiman Amin, mengatakan,  pembebasan BPHTB untuk perumahan komersil telah diturunkan batasanya menjadi Rp60 juta dari sebelumnya Rp100 juta.

"Untuk perumahan subsidi tetap Rp100 juta," ujarnya.

Menurut dia, batasan BPHTB sebesar Rp60 juta merupakan nilai awal yang tertera UU no 28 tahun 2009, pihaknya memang sempat membuat perda terkait batasan menjadi Rp100 juta pada 2018 agar masyarakat semakin mudah memperoleh hunian.

Pihaknya menyebut hanya memiliki waktu satu bulan lagi untuk mensosialisasikan perubahan yang sudah disetujui wali kota dan DPRD tersebut kepada notaris dan Real Estate Indonesia (REI) setempat sebelum berlaku mulai Juli.

Selain itu pihaknya juga akan memberlakukan perubahan presentase pajak tempat hiburan (diskotik, karaoke eksekutif dan klub malam) sebesar 40 persen dari sebelumnya hanya 35 persen.

Ia mengklaim perubahan pajak hiburan itu masih realistis meski diberlakukan di tengah kondisi pandemi. "Kalau masyarakat masih datang ke tempat hiburan artinya masih sanggup bayar pajaknya," tutupnya.