Jejak Ulama Palembang Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani, Penyebar Semangat Jihad Anti Penjajahan [Bagian Kedua]

Syaik Abdul Samad Al Palimbani/ist
Syaik Abdul Samad Al Palimbani/ist

Pada abad ke-18 nama Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani sangat dikenal dalam perkembangan intelektual ulama melayu. Namun generasi milenial banyak yang kurang mengenal kiprah ulama yang ikut berperan menyebarkan ideologi anti-penjajahan.


Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani adalah seorang tokoh sufi penulis kitab-kitab sufi yang berasal dari Palembang yang dilahirkan pada 1150 H atau 1737 M, meskipun dilahirkan di Palembang namun dia meninggal di Pattani, Thailand pada 1832.

Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani, sedikitnya ada tiga versi nama yang tercatat dalam sejarah. Pertama, dalam Ensiklopedia Islam, dia bernama Abdus Samad Al-Jawi Al-Falembani.

Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi Al-Falembani. 

Sementara versi terakhir, tulisan Azyumardi Azra itu, bahawa apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh Al-Falembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Dari ketiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad, Azyumardi berpendapat bahawa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.

Perbedaan pendapat mengenai nama ulama ini dapat dipahami mengingat sejarah panjangnya sebagai pengembara, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dalam menuntut ilmu. Apabila dilihat latar belakangnya, ketokohan Al-Palembani sebenarnya tidak jauh berbeda dari ulama-ulama Nusantara lainnya, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abdurrauf as-Singkili, Yusuf Al-Makasari.'

Dari segi silsilah, nasab Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani berketurunan Arab, dari sebelah ayah. Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Palembani, adalah ulama yang berasal dari Yaman yang dilantik menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. 

Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang diperisterikan oleh Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.

Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani merupakan salah satu kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektualisme Nusantara. 

Ketokohannya melengkapi nama-nama ulama dan intelektual berpengaruh seangkatannya semisal Al-Raniri, Al-Banjari, Hamzah Fansuri, Yusuf Al-Maqassari, dan masih banyak lainnya.

Menurut pengarang  buku Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani, Biografi dan warisan keilmuan, H Mal An Abdullah, masa kecil dan masa baliq Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani masih berada di Palembang sebelum dia ke arab.

“ Sampai sekarang keberadaan Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani di Palembang tidak terlacak, tetapi kira-kira itu di daerah keluarganya di  Kraton Palembang , karena nenek Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani keturunan Pangeran Purbaya," katanya.

"Kita bisa memperkirakan itu dan yang bisa direkam di Palembang itu Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani ingin mati syahid di Patani dan itu saya kira bukan cuma karena alasan –alasan itu saja, ternyata ada istrinya sendiri orang Patani,” tambah dia.

Selain itu Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani juga ikut melawan penjajah seperti di Jawa dan Aceh.

"Di Aceh itu jelas, karena sumber pembuatan Hikayat Perang Sabil itu menuliskan betul bahwa Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani itu nasihatul musliminnya itu menjadi inspirasi penulisan hikayat perang sabil dalam bahasa Aceh tersebut," katanya.

Selain itu Mal An menambahkan, bagi Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani, perspektif Ibnu Arobi bisa digabungkan dengan Al Ghozali, dengan mudah.

"Kalau di Aceh harus ada perjuangan berdarah-darah antara dua pendukung ulama (Hamzah Fansuri dengan Nuruddin Al-Raniri) itu, di Palembang tidak pernah terjadi berkat beliau dan tasawuf yang di ajarkan dia adalah tasawuf yang aktif dalam kehidupan masyarakat bukan tasawuf yang mengucilkan diri, karena itu banyak lahir ulama-ulama dari kalangan Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani, ketika berbicara mengenai Al Quran cetakan Palembang itu, jelas-jelas dia menyebutkan dia pengikut tarikat samaniyah, tarikat samaniyah itu tokohnya ya Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani,” jelas Mal An.

Selain itu menurut Mal An, Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani tidak pernah mengabaikan Palembang, karena itu anak perempuan Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani dinikahkan dengan orang Palembang.

“Ketika Abdurahman tadi itu melahirkan anak di daerah Kemaman, anaknya itu dibesarkan di Palembang sebelum kemudian kesana lagi, saya kira cara kita untuk memahaminya adalah dunia melayu petanya tidak sekarang, ada sekat yang ketat antar negara, jadi dulu biasa saja dari Palembang ke Kedah, jadi jangan bayangkan ada paspor seperti sekarang, saya kira kita salah memahami dunia melayu pada era dulu dengan dunia melayu pada era ketika sudah ada negara dan bangsa,” katanya.

Walaupun Patani masuk wilayah Thailand , menurut Mal An, raja Thailand saat ini lebih memahami Islam bahkan muncul spekulasi sang raja juga seorang muslim.

"Tetapi harus diakui juga kadang-kadang orang yang membuat ulah di Thailand itu orangnya sama saja orang yang membuat ulah di Indonesia bukan orang pataninya sendiri,” katanya.

Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani sendiri mendapat pendidikan dasar dari ayahnya sendiri, Syeikh Abdul Jalil, di Kedah. Kemudian Syeikh Abdul Jalil mengantar semua anaknya ke pondok di negeri Patani. Zaman itu memang di Patani lah tempat menempa ilmu-ilmu keislaman sistem pondok yang lebih mendalam lagi.

Mungkin Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan Abdul Qadir telah memasuki pondok-pondok yang terkenal, antaranya ialah Pondok Bendang Gucil di Kerisik, atau Pondok Kuala Bekah atau Pondok Semala yang semuanya terletak di Patani.

Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas hanyalah Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. 

Demikianlah yang diceritakan oleh beberapa orang tokoh terkemuka Kampung Pauh Bok itu (1989), serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip terjemahan Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani yang ada.

Kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok itulah sehingga membolehkan pelajaran Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani dilanjutkan ke Mekah dan Madinah. 

Walau bagaimana pun mengenai Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani belajar kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani itu belum pernah ditulis oleh siapa pun, namun sumber asli didengar di Kampung Pauh Bok sendiri.

Sistem pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat dengan hafalan matan ilmu-ilmu Arabiyah yang terkenal dengan ‘llmu Alat Dua Belas’. Dalam bidang syariat Islam dimulai dengan matan-matan fiqh menurut Mazhab Imam Syafi’i. Di bidang tauhid dimulai dengan menghafal matan-matan ilmu kalam/usuluddin menurut paham Ahlus Sunah wal Jamaah yang bersumber dari Imam Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al-Maturidi.

Dia juga mempelajari ilmu sufi daripada Syeikh Muhammad bin Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf daripada Syeikh Abdul Rauf Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Aceh. Oleh sebab dari kecil dia lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam sejarah telah tercatat bahawa dia adalah ulama yang memiliki kepakaran dan keistimewaan dalam cabang ilmu tersebut.

Setelah Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani banyak hafal matan lalu dilanjutkan pula dengan penerapan pengertian yang lebih mendalam lagi. Sewaktu masih di Patani lagi, Syeikh Abdus Shamad telah dipandang alim, karana dia adalah sebagai kepala thalaah (tutor), menurut istilah pengajian pondok. Namun ayahnya berusaha mengantar anak-anaknya melanjutkan pelajarannya ke Makkah.

Memang merupakan satu tradisi pada zaman itu walau bagaimana banyak ilmu pengetahuan seseorang belumlah di pandang memadai, jika tak sempat mengambil barakah di Mekah dan Madinah kepada para ulama yang dipandang Wali Allah di tempat pertama lahirnya agama Islam itu.

Orang tua Al-Palembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab yaitu Makkah, dan Madinah. Di negeri barunya ini, dia terlibat dalam masyarakat Jawa, dan menjadi teman seperguruan, menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya seperti Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. 

Walaupun dia menetap di Mekah, tidak bermakna dia melupakan negeri leluhurnya. Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani, menurut Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.