Jejak Ulama Palembang Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani, Penyebar Semangat Jihad Anti Penjajahan [Bagian Kesatu]

 Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani/ist
Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani/ist

Pada abad ke-18 nama Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani sangat dikenal dalam perkembangan intelektual ulama melayu. Hal ini lantaran kiprah tak bisa dianggap kecil, sosok Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani  ikut berperan menyebarkan ideologi anti-penjajahan.


Dia ikut menyerukan jihad terhadap Belanda yang menindas kaum Muslim di seantero Nusantara. Hal itu tertuang dalam karya besarnya tentang jihad di kitab Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabilillah wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah.

Kita itu juga yang menginspirasi para mujahid Aceh yang berperang melawan Beland. Selain itu, Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani juga kerap bersurat dengan raja-raja Muslim di Nusantara untuk menggelorakan semangat jihad terhadap penjajah.

Salah satunya ialah dengan mengirimkan surat pada Pangeran Pakunegara/Mangkunegara yang disertai dengan jimat berupa panji-panji.

Substansi surat itu berisi persuasi maupun motivasi pada penguasa di tanah Jawa agar jangan takut bila harus gugur dalam jihad karena ganjaran yang diterima ialah surga. Selain ganjaran surga, Syaikh Abdus Samad turut mengibaratkan kebaikan bagi Pangeran Mangkunegara yang teguh melawan penjajahan seperti “sekuntum bunga yang menyebarkan wewangiannya sejak matahari terbit hingga tenggelam sehingga seluruh Mekkah dan Madinah serta negeri-negeri Melayu akan bertanya-tanya tentang keharuman ini”.

Namun sayangnya, surat  seruan jihad kepada para penguasa Jawa itu boleh dibilang gagal. Surat itu akhirnya tidak pernah sampai kepada si alamat. Bersama dua surat lainnya yang disita Belanda, setelah disalin dan diterjemahkan aslinya, dihancurkan Belanda. 

Walaupun demikian , Syaikh Abdus Samad juga tetap mengakui eksistensi politik seorang raja sebagai pemerintah yang sah. Tidak lupa, ia juga menekankan kesadaran akan kecintaan pada tanah air dengan menyebut “negeri-negeri Melayu” dalam suratnya.

Meski surat kepada pemimpin Jawa itu tidak sampai kepada orang yang dituju, Syaikh Abdus Shamad tetap bersemangat dalam menerapkan ilmu yang ia miliki dengan tindakan yang semakin nyata.

Pecinta manuskrip dari Yogyakarta, Aguk Irawan menjelaskan dari karya Syekh Abdul Rozak Al Baitar yang berjudul Khilatul Basyar (biografi orang-orang hebat ulama di dunia) banyak menyebutkan ulama-ulama nusantara termasuk dari Palembang.

Termasuk Syekh Abdul Somad Al Palembani lalu ada namanya Syekh Sihabuddin, Syekh Muhammad Muhidin adalah ulama nusantara yang jangkauannya sudah luas hingga keluar negeri.

“Syekh Abdul Somad Al Palembani reputasi beliau sudah internasional apalagi karir beliau ini tidak hanya di Indonesia juga di Thailand, Yaman sampai di Mekkah, sayangnya kitab yang sangat berpengaruh dalam melakukan perlawanan kolonialisme, kitab yang berkobar-kobar itu, salah satunya nasihat Muslim, kitab itu hampir dipelajari semua korekoh, berarti menunjukkan reputasinya yang luar biasa ditengah-tengah baik suni dan syiah," katanya.

"Jadi Palembang ini selain mempunyai karya berbahasa arab juga berbahasa melayu, makanya kenapa langsung meloncat ke sumpah pemuda menggunakan bahasa melayu, karena pengaruhnya ulama-ulama yang menulis dengan berbahasa melayu, itu menjadi bahasa kesatuan dari Aceh sampai Papua," tambahnya.

Dirinya tidak bisa membayangkan meskipun Jawa merupakan bahasa terbesar tapi tidak bisa mempengaruhi dan itu karena figur-figurnya kurang melegenda.

Menurut Aguk, sebanyak 112 pemberontakan di Indonesia itu dipimpin guru tareqot, guru tareqot memiliki spirit nasionalismenya dari kitab Syekh Abdul Somad Al Palembani dari tarekat apapun.

"Makanya itu beliau tidak hanya berjasa untuk nasionalisme tapi membentuk NKRI, kalau kita berbicara kebangsaan jauh sebelum Majapahit, ini dihasilkan dari semangat penyebaran naskah-naskah ini yang bentuk nasionalisme dari guru tareqot," katanya.

Sementara itu Akademisi dari UIN Raden Fatah Palembang Prof Dr Duski Ibrahim memiliki penilaian sendiri mengenai sosok Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani.

"Beliau (Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani) tidak masuk ke struktur Kesultanan Palembang," kata Direktur PPs UIN Raden Fatah Palembang ini.

Menurutnya yang menarik dari Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani beliau mereformulasi dan merekonstruksi pemikiran Islam dimana Syaikh Abdus Samad Al-Palimbani mencoba mengambil jalan tengah yang dulu tidak ditemukan di Aceh.

"Kalau Islam kita di Palembang dan sekitarnya ini merupakan Islam yang sangat moderat, makanya di Aceh itu banyak konflik ribut ulama-ulamanya, kalau ulama-ulama di Palembang tidak pernah ribut," jelasnya. 

Selain itu menurutnya, tradisi ulama-ulama Palembang bukan hanya berceramah namun juga menulis dan dicetak untuk disebarkan ke berbagai kalangan.