Dalam dinamika politik Indonesia, fenomena calon kepala daerah yang bermasalah hukum semakin sering menjadi sorotan.
- Dari Ijazah Palsu sampai Skandal Plt Bupati, Sengkarut Demokrat Saat Cik Ujang Menjabat
- Sumsel Diyakini Bakal Jadi Lumbung Suara Anies
- Belajar dari Kekalahan Pilpres 2019, Rumah Jokowi Benahi Database untuk Menangkan Ganjar di Sumsel
Baca Juga
Fenomena ini dikenal dengan istilah "politik sandera", di mana calon yang diduga memiliki permasalahan hukum tetap maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Kondisi ini juga tampaknya terjadi di Pilkada Sumsel, dimana calon kepala daerah yang bakal bermasalah hukum mulai menjadi sorotan publik.
Pengamat Hukum, Prof Dr. Febrian SH MS mengungkapkan, secara hukum, mantan narapidana dan individu yang terlibat kasus hukum masih diperbolehkan untuk maju dalam Pilkada. Namun, secara sosial hal itu menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
"Secara hukum, mereka yang pernah terlibat kasus hukum tetap diperbolehkan mengikuti Pilkada. Namun, dari sisi sosial, muncul pro dan kontra. Masyarakat sendiri terbagi, sebagian menerima keberadaan calon dengan latar belakang hukum bermasalah, sementara yang lain lebih memilih kandidat yang bersih," ujar mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri) itu.
Dia menjelaskan, meski dari sudut pandang hukum keberadaan calon seperti itu bisa diterima, namun hal ini dapat menghasilkan kandidat yang kurang memenuhi kualifikasi yang diharapkan masyarakat.
"Kontrol sebenarnya ada di tangan masyarakat. Mereka harus pintar dalam memilih. Jika tidak ingin dipimpin oleh mantan narapidana, atau calon yang nantinya punya masalah hukum maka sebaiknya jangan memilih calon tersebut," jelasnya.
Fenomena politik sandera ini juga disebutnya berpotensi menguntungkan calon wakil kepala daerah jika Cakada utama terjerat kasus hukum saat menjabat nanti. Namun, ia menegaskan situasi ini juga bisa dimanfaatkan oleh lawan politik sebagai strategi untuk memenangkan Pilkada.
"Jika calon terlibat kasus hukum lagi, hal ini bisa menguntungkan wakilnya. Namun, jika tidak, situasinya mungkin tidak berubah. Kendati demikian, rival politik biasanya memanfaatkan kondisi ini untuk mendapatkan keuntungan dalam persaingan," tukasnya.
Dalam beberapa kasus, partai politik cenderung mengabaikan permasalahan hukum yang dihadapi oleh calon kepala daerah demi mencapai tujuan politik jangka pendek.
Namun, efek jangka panjang dari ini dapat merusak integritas partai dan memperburuk citra politik di mata publik. "Dampaknya pasti ke partai kalau cakada yang diusung itu nantinya bermasalah hukum. Proses penjaringan itu yang selektif," ucapnya.
Sementara itu, Pengamat Politik Sumsel, Ade Indra Chaniago menuturkan, tokoh politik yang akan maju pada Pilkada Serentak seharusnya bisa menjadi contoh bagi masyarakat dalam pendidikan berpolitik.
"Salah satunya mundur dari perhelatan apabila sedang bermasalah hukum. Mereka harus tahu diri. Jangan sampai nanti setelah perhelatan dan menang, malah menimbulkan kekosongan kepemimpinan karena sandungan kasus hukum," kata Ade.
Akademisi Stisipol Candradimuka Palembang ini menuturkan, saat ini masyarakat sudah cerdas dalam memilih pemimpin. "Semuanya tergantung kepada pemilih nantinya. Apakah tetap mempercayakan dengan orang yang bermasalah atau memilih pemimpin yang benar-benar bersih," tandasnya.
- PDIP Sumsel Pecat Ferlan Juliansyah Usai Terjaring OTT KPK di OKU
- KPU Sumsel Tunggu Keputusan MK untuk Penetapan Paslon Terpilih Pilkada
- Giri Ramanda Tegaskan PDIP Menang di 9 Daerah Pada Pilkada Sumsel