Bisnis Gelap Batu Bara: Modus Dokumen Terbang dan Oknum di Kementerian ESDM?

ilustrasi/ist
ilustrasi/ist

Industri pertambangan di Sumatera Selatan kembali disorot akibat dugaan praktik 'dokumen terbang' yang melibatkan perusahaan tambang batu bara berkalori rendah. 


Praktik ini diduga telah berlangsung selama beberapa tahun dan menyebabkan kerugian negara yang signifikan. Perusahaan-perusahaan tersebut, dengan dukungan oknum tertentu di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, diduga menjual batu bara menggunakan dokumen fiktif. 

Dalam penelusuran, transaksi jual beli ini dilakukan dengan perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUPOPK), umumnya berada di Provinsi Lampung. Dugaan ini mencuat setelah aktivis dari Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi, mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan tambang di Sumsel yang memiliki IUP memperoleh keuntungan sekitar 2 hingga 3 dolar per ton dari penjualan batu bara berkalori rendah dengan menyewakan dokumen mereka.

Praktik 'dokumen terbang' sendiri merujuk pada pemalsuan atau penggunaan dokumen fiktif dalam aktivitas pertambangan. Modus ini memungkinkan perusahaan tambang ilegal atau yang tidak memenuhi syarat untuk beroperasi seolah-olah legal dengan memanfaatkan dokumen palsu. 

Padahal, sebelum ini Menteri Investasi sekaligus Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, pernah mengungkapkan bahwa sejumlah pengusaha bahkan memalsukan nomor surat pada Izin Usaha Pertambangan (IUP), menggantinya dengan nomor surat pengantar KTP atau bahkan surat pengantar jenazah. Saat itu Bahlil telah memperingatkan bahwa praktik 'dokumen terbang' dalam industri tambang tidak akan ditoleransi dan akan ditindak tegas. 

Namun, meskipun telah ada peringatan tersebut, dugaan praktik ini masih terus berlangsung di Sumsel, menandakan adanya celah dalam pengawasan serta kemungkinan keterlibatan oknum di dalam sistem birokrasi pertambangan, termasuk jajarannya di Dirjen Minerba Kementerian ESDM. 

Apalagi, dampak dari praktik ini tidak hanya sebatas pada kerugian finansial negara akibat hilangnya potensi pendapatan dari pajak dan royalti, tetapi juga berimbas pada lingkungan dan persaingan usaha. Sebab, penambangan tanpa izin sering kali dilakukan tanpa memperhatikan aspek lingkungan, menyebabkan deforestasi, kerusakan ekosistem, dan pencemaran. 

Selain itu, perusahaan yang beroperasi secara legal pun turut dirugikan karena harus bersaing dengan pelaku usaha yang menggunakan cara-cara ilegal untuk menekan biaya produksi. Rahmat dan aktivis lainnya mendesak pemerintah untuk meningkatkan transparansi dalam penerbitan izin tambang serta memperketat pengawasan terhadap aktivitas pertambangan. 

Mereka juga menegaskan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku praktik 'dokumen terbang' agar memberikan efek jera dan mencegah kerugian negara lebih lanjut. "Kami berharap aparat penegak hukum segera mengusut tuntas dugaan praktik ini dan menindak tegas oknum-oknum yang terlibat, baik dari pihak perusahaan maupun aparatur pemerintah," tegasnya.