Ekspor Pasir Laut Ancam Keberlangsungan Ekosistem

Pengerukan pasir laut. (ist/rmolsumsel.id)
Pengerukan pasir laut. (ist/rmolsumsel.id)

Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk kembali membuka ekspor pasir laut setelah 20 tahun dihentikan terus mendapatkan kritik dari berbagai pihak. 


Dalam keterangannya, Presiden Jokowi menyatakan bahwa yang diekspor bukan pasir laut, melainkan sedimen laut yang terdiri dari campuran tanah dan air. Namun, kebijakan tersebut tetap menuai protes karena dianggap memiliki dampak lingkungan yang merugikan.

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menegaskan bahwa eksploitasi pasir laut dalam bentuk apa pun tetap membawa risiko besar bagi lingkungan dan masyarakat pesisir. 

Ia memperingatkan bahwa pengerukan pasir laut berpotensi merusak ekosistem laut, mempercepat tenggelamnya pulau-pulau, serta meminggirkan nelayan yang kehilangan akses untuk mencari nafkah.

"Pengerukan pasir laut memicu dampak buruk terhadap lingkungan, menyebabkan pulau-pulau tenggelam, dan meminggirkan nelayan yang tidak dapat melaut lagi," ujar Fahmy dalam keterangannya pada Kamis (19/9).

Lebih lanjut, Fahmy menjelaskan bahwa alasan ekonomi untuk membuka kembali ekspor pasir laut tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Menurutnya, penerimaan negara dari ekspor pasir laut sangat kecil, sementara biaya untuk menanggulangi dampak lingkungan jauh lebih besar.

"Kementerian Keuangan sudah mengakui bahwa penerimaan dari ekspor pasir laut sangat kecil, sedangkan biaya kerusakan lingkungan yang harus ditanggung jauh lebih besar, sehingga ekspor ini tidak layak dilanjutkan," tegas Fahmy.

Ia juga menyoroti potensi keuntungan besar yang akan dinikmati oleh negara tetangga, terutama Singapura, yang berencana menggunakan pasir laut Indonesia untuk reklamasi lahan. Kebijakan ini dinilai bisa memperluas wilayah daratan Singapura dan mempengaruhi batas perairan antara Indonesia dan Singapura.