Nama Ibnu Sutowo, yang juga dikenal sebagai kakek mertua artis Dian Sastrowardoyo, merupakan sosok berpengaruh di era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
- Ribuan Warga Korsel Demo Tolak Penangkapan Presiden Yoon
- Kepala BNPB: Gempa Magnitudo 6,1 di Garut Dirasakan Tiga Kabupaten
- BPKH Sebut Dana Haji Aman dan Tidak Dipakai Lokasi Infrastruktur
Baca Juga
Karirnya yang dimulai di dunia medis, beralih ke dunia militer, dan akhirnya mengelola perusahaan minyak nasional, menjadikannya salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia.
Namun, di balik kesuksesannya, terdapat sejumlah kontroversi yang mengiringi perjalanan hidupnya.
Ibnu Sutowo memulai karirnya sebagai seorang dokter, dan pernah bertugas di Palembang dan Martapura (OKU Timur, Provinsi Sumatera Selatan), termasuk sebagai dokter pemberantasan malaria. Namun, jalur hidupnya berubah ketika ia memutuskan beralih ke dunia militer.
Pada tahun 1946, ia diangkat sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Tentara VIII/Garuda di Sumatera Selatan, dan kemudian bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat pada 5 Desember 1946.
Pada tahun 1957, di tengah kebijakan dwifungsi ABRI yang digalakkan oleh KSAD Letjen Nasution, Ibnu Sutowo ditunjuk sebagai Direktur PT Pertamina (Perusahaan Minyak Nasional), yang kelak menjadi cikal bakal Pertamina.
Karirnya semakin menanjak setelah ia diangkat sebagai Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi pada 1966, kemudian Menteri Migas pada 1967, dan akhirnya Direktur Utama Pertamina pada 1968.
Di bawah kepemimpinannya, Pertamina berkembang pesat dan menjadi perusahaan minyak raksasa dunia. Pada 20 Agustus 1968, PN Permina bergabung dengan PN Pertamin dan menjadi PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina).
Ibnu Sutowo menjabat sebagai Dirut Pertamina pertama yang ditunjuk langsung oleh Presiden Soeharto. Kejayaan Pertamina semakin terasa setelah harga minyak dunia melonjak 400 persen pada 1973.
Namun, kesuksesan tersebut tak terlepas dari masalah. Pertamina bergerak di luar kerangka pembangunan lima tahun yang disusun oleh Bappenas, tidak melibatkan pemerintah atau DPR dalam kebijakan-kebijakan perusahaan, dan dana untuk berbagai proyek tidak tercatat dengan jelas. Hal ini mengarah pada kebocoran keuangan yang sangat besar.
Pada 1974, Presiden Soeharto membentuk Komisi 4 untuk menyelidiki dugaan korupsi di Pertamina. Komisi ini mengungkapkan bahwa Pertamina terbelit utang sebesar 10,5 miliar dolar AS, yang sangat besar pada masa itu.
Kasus semakin memanas ketika terungkap bahwa Pertamina tidak mampu membayar kewajiban keuangan, termasuk proyek sewa beli tanker samudera. Pada 1975, Pertamina hampir membangkrutkan Indonesia, dengan pendapatan dalam negeri hanya sekitar 6 miliar dolar AS per tahun dan cadangan devisa yang tinggal 400 juta dolar AS.
Ibnu Sutowo akhirnya dilengserkan dari jabatannya sebagai Dirut Pertamina pada 5 Maret 1976. Meski demikian, ia tidak pernah dinyatakan bersalah secara hukum. Presiden Soeharto menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk menuntutnya secara pidana.
Setelah lengser, Ibnu Sutowo tetap aktif dalam dunia bisnis, mendirikan berbagai usaha, termasuk merek air minum Aqua. Tujuh anaknya, termasuk almarhum Adiguna Sutowo yang mendirikan MRA Group, melanjutkan dan mengembangkan bisnis tersebut.
Ibnu Sutowo meninggal dunia pada 12 Januari 2001 di usia 86 tahun. Meskipun kontroversial, ia tetap dikenang sebagai sosok yang berjasa dalam membangun Pertamina dan industri minyak Indonesia. Namun, kisahnya juga mengajarkan tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya negara.
Pontjo Sutowo tak ingin ayahnya dituduh korupsi Pertamina

Pontjo Sutowo usai mengikuti acara Pameran Photo dan Arsip Tokoh-Tokoh Pejuang Kemerdekaan Sumatera Selatan di gelar di Museum Pahlawan Nasional Mayjend TNI (Purn) Dr.AK.Gani di Jalan MP. Mangkunegara, Kamis (30/1/2025).(Dudy Oskandar/rmolsumsel.id)
Anaknya, Pontjo Sutowo, menegaskan bahwa ayahnya adalah sosok yang berjasa besar dalam mendirikan Pertamina dan menolak anggapan bahwa ayahnya terlibat dalam korupsi.
"Pertamina nggak mungkin jadi sebesar itu kalau bukan ayah saya. Apa bisa korupsi? Enggak mungkin," katanya setelah mengikuti acara Pameran Foto dan Arsip Tokoh-Tokoh Pejuang Kemerdekaan Sumatera Selatan di Museum Pahlawan Nasional Mayjen TNI (Purn) Dr. AK Gani, pada Kamis, (30/1/ 2025) lalu.
Pontjo juga menambahkan bahwa dalam dunia perminyakan, ada kepentingan global yang seringkali mempengaruhi tokoh-tokoh besar.
"Anda bisa lihat King Faisal di Arab, dibunuh gara-gara minyak. Saddam Hussein, Khadafi, semua meninggal gara-gara minyak. Jadi, upaya untuk menjegal tokoh-tokoh minyak itu terjadi di mana-mana di dunia," ujarnya.
Pontjo menganggap bahwa jatuhnya Ibnu Sutowo dari Pertamina adalah bagian dari konspirasi global yang mempengaruhi masa itu.
la juga menjelaskan, bagaimana Ibnu Sutowo menciptakan sistem bagi hasil untuk minyak dunia, dimana selama ini dunia mengenal sistem konsesi.
"Itu terbalik dunia Barat gara-gara itu," katanya.
Selain itu, Pontjo mengungkapkan bahwa ayahnya adalah sosok yang rendah hati dan tidak ingin dilihat sebagai pahlawan.
"Beliau orangnya low profile, tapi perjuangan ayah saya itu ada banyak hal. Selain berjuang untuk kemerdekaan, ayah saya juga berhasil melerai pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun 1950-an," katanya.
Menurut Pontjo, pemberontakan PRRI hanya di Sumatera Bagian Selatan yang tidak terjadi gejolak karena ayahnya selalu menghubungi dan diajak berdialog dengan pihak-pihak terkait.
Melalui Operasi Sadar yang dipimpin Ibnu Sutowo, pemberontakan tersebut berhasil diredam tanpa pertempuran di Sumatera Selatan.
Tentang usulan menjadikan Ibnu Sutowo sebagai pahlawan, Pontjo mengatakan bahwa hingga kini belum ada usulan resmi.
"Beliau orangnya low profile, mungkin jadi pikiran kita di masa depan, harusnya Sumsel yang mengusulkan," ujarnya.
Pontjo juga mengungkapkan bahwa Ibnu Sutowo pernah mengoperasi tangan kanan Komandan Divisi II Palembang, Bambang Utoyo, setelah terkena ledakan bom.
"Pak Bambang melempar granat, tapi ada masalah, lalu beliau meluk pohon. Bom meledak, tapi beliau selamat, dan orang lain juga selamat, hanya tangannya rusak. Ayah saya yang operasi, dulu kalau operasi tidak ada obat bius," kenangnya.
- Anak Demam Setelah Vaksin, Lakukan Empat Hal Berikut
- Ratusan Gajah, dan Zebra di Kenya Mati Akibat Dilanda Kekeringan
- Belanda Menjatuhkan Hukuman Seumur Hidup Terhadap Tiga Terdakwa atas Jatuhnya Pesawat MH17 di Ukraina 2014