Eijkman Korban Ngawurisme


BONGKAR pasang kementerian dan LPND kini menimbulkan korban lagi. Kali ini korbannya Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang melegenda itu. Ini terjadi setelah Kemenristek dilebur ke dalam Kemendikbud, sementara fungsi riset dan inovasi dikelola oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Hemat saya, perombakan ini mubazir karena tidak mengubah proses-proses bisnis utama yang terjadi di Kabinet secara signifikan, bahkan setelah ada KSP segala serta beberapa Menteri Koordinator.

Bahkan penguatan oligarki parpol yang mendukung rezim saat ini, serta adanya Kemenko kesimpangsiuran kebijakan masih sering terjadi. Akar masalahnya satu: biaya politik yang makin tinggi menyebabkan pengelolaan kementrian menjadi sangat dirundung ego sektor.

Koordinasi mensyaratkan kesimetrian informasi lintas-sektor, sedangkan ego sektor merupakan resep bagi inefisiensi koruptif yang justru diharapkan parpol. Ketidaksimetrian informasi membuka insentif untuk tata kelola yang buruk dan dissinergi.

Akar masalah lainnya adalah peleburan Dikti ke dalam Kemendikbud. Dikti dianggap perpanjangan Dikdasmen. Padahal tugas universitas berbeda dengan persekolahan yang kini memonopoli sistem pendidikan nasional.

Di negara maju, tradisi kampus jauh lebih tua daripada tradisi sekolah dan tugas universitas adalah knowledge creation and innovation.

Sekolah hanya merupakan instrumen teknokratik penyiapan buruh yang cukup trampil menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia bekerka pada kepentingan pemilik modal, terutama asing yang sanggup memberi gaji besar.

Menempatkan perguruan tinggi sekedar kelanjutan SMA adalah keliru. Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka jadi lelucon.

Peleburan Dikti ke Kemendikbud menguatkan agenda penjongosan sekaligus pendunguan nasional. Kekuatan kontrol setelah parlemen lumpuh dan media massa hanya menjadi corong pemerintah hanya tinggal perguruan tinggi. Namun kekuatan kontrol berbasis kampus itu kini hilang sama sekali.

Perguruan tinggi bukan lagi lembaga yang memiliki kemerdekaan untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah.

Alasan pokok perguruan tinggi memiliki keistimewaan memberi gelar akademik mulai dipertanyakan. Kampus kini disibukkan untuk memperbaiki lulusan SMA yang tidak mandiri dan tidak dewasa serta melakukan hampir semua hal kecuali yang penting bagi penciptaan pengetahuan dan inovasi.

Pengalaman saya selama 30 tahun lebih di universitas dan menjadi mitra kerja berbagai kementrian menunjukkan bahwa pemerintah sering terlalu percaya diri untuk menerima masukan pakar mandiri dari kampus.

Apalagi banyak anggota eksekutif dan legislatif kini memburu gelar akademik hingga jabatan profesor. Hampir-hampir tidak pernah ada hasil penelitian perguruan tinggi digunakan dalam perumusan kebijakan Pemerintah.

Proyek-proyek penelitian juga dijadikan instrumen korupsi melalui banyak kick back yang berujung di kantong anggota parlemen lagi. Bahkan kini pakar dari universitas sering dipandang sebelah mata oleh birokrat.

Keterpaduan penelitian yang sudah lama diwacanakan oleh Dewan Riset Nasional (DRN) hingga hari ini masih sekedar mimpi di siang bolong. Posisi DRN makin lemah selama lima tahun terakhir. Ini menjelaskan mengapa kapasitas inovasi bangsa ini makin tertinggal.

Saya ragu apakah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang diamanahkan dalam UU 19 tentang Sisnas Iptek) yang langsung di bawah Presiden akan mampu mengorkestrasikan banyak lembaga riset yang jauh lebih tua seperti LIPI, LAPAN, BPPT, LBM Eijkman dsb. Apalagi jika Dewan Pengarah BRIN diambil dari kalangan politikus atau bahkan Ketua Partai berkuasa.

Dengan mengambil kesempatan yang dibuka oleh pandemi Covid-19 sebagai  public health emergency of international concern, sulit menolak kesan kecenderungan ngawurisme pemerintah saat ini.

LBM Eijkman yang semestinya paling kompeten untuk menetapkan apakah status pandemi ini layak diteruskan, malah dilemahkan.

Seperti persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai prasyarat budaya bagi bangsa merdeka, BRIN tidak dirancang untuk membangun kedaulatan Iptek yang diperlukan untuk melengkapi bangsa merdeka itu dengan Iptek untuk bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Para peneliti bangsa ini akan diposisikan sebagai pemulung Iptek, jika bukan jongosnya. Wis pokok-e awuren wae!

| Penulis adalah Gurubesar Perkapalan ITS Surabaya