Dinas Arahkan Sekolah Ke Penerbit Tertentu, Ombudsman : Cek Fakta Lapangan Dan Laporkan

Hingga pertengahan tahun 2020, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) telah menerima laporan masuk sebanyak 57 laporan. Dari semua laporan yang masuk, sektor pendidikan masih menjadi perhatian lembaga yang khusus mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik ini.

Kepala Kantor Perwakilan Ombudsman Provinsi Sumsel, M. Adrian Agustiansyah menyampaikan, dari 57 laporan yang masuk, ada lima laporan terkait penyelenggaraan pendidikan.

Dimana, sejak awal pengawasan terus dilakukan terhadap dunia Pendidikan di kota Palembang, mulai dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) hingga pembelian buku mata pelajaran secara online (market place) melalui aplikasi  system informasi pengadaan sekolah (Sipla).

Bahkan belum lama ini, ada juga pihak dari asosiasi penerbit, yang datang untuk konsultasi terkait keluhan adanya pembelian buku pelajaran sekolah tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) sebesar 20 persen, pada penerbit tertentu atau ada praktik monopoli dalam pelaksanaan pembelian buku yang merupakan wewenang sekolah.

"Mereka datang masih sebatas konsultasi terkait adanya arahan oleh Dinas Pendidikan terhadap satu penerbit. Tapi kita minta agar mereka mencari dulu fakta di lapangan, jika memang ada upaya dari Dinas Pendidikan (Diknas) Kota Palembang dan pihak lain, untuk mengarahkan ke satu penerbit, ini ada apa," ungkapnya.

Adrian mengatakan, apa yang disampaikan terkait pembelian buku tersebut, juga pernah terjadi di NTB dan Ombudsman juga yang membongkarnya.

Dimana, Kantor Kementrian Agama mengarahkan langsung untuk memesan buku di satu tempat tertentu.

“Kami akan melihat terlebih dahulu, persoalan apa yamg terjadi. Karena, yang mengetahui persis persoalan ini dan data di lapangan adalah pihak penerbit,” tegasnya.

Tidak menutup kemungkinan, kata Adrian, pihaknya akan memanggil pihak terkait, jika konsultasi ini ada indikasi kebenarannya.

"Jika memang terjadi upaya seperti itu, maka silakan laporkan ke kami agar kami dapat segera melakukan investigasi ke lapangan," imbuhnya.

Harus dipahami, terkait penggunaan aplikasi Siplah, menjadi salah satu langkah Kementrian Pendidikan, agar tidak ada permainan yang dilakukan pihak sekolah.

"Mungkin dulu banyak yang melihat dana BOS ini, terkesan diragukan terkait pembelian barang yang dilakukan. Saya juga melihat, ini juga dilakukan agar harga-harga tersebut bisa bersaing," ulasnya.

Ia menegaskan, seluruh penerbit dan rekanan, mempunyai hak yang sama untuk melakukan penjualan dalam system online ini, terlebih penerbit dan rekanan ini, juga terdaftar resmi dalam Sipla tersebut.

"Kami minta agar mereka melihat lagi kondisi di lapangan. Nanti akan terlihat, apalagi nanti seluruh sekolah pakai satu penerbit yang sama, ini kan pasti ada apa-apanya," ulasnya.

Sementara itu, berdasarkan penelusuran dilapangan, beberapa sekolah mengaku jika pemesanan buku harus berdasarkan izin Dinas Pendidikan dan itu harus melalui pembelian online, melalui aplikasi Siplah.

"Sekarang kita tidak bisa pesan langsung ke penerbit, harus lewat aplikasi Siplah, dengan penerbit yang telah ditunjuk diknas kota," jelas salah satu pihak sekolah dasar negeri, yang enggan disebutkan namanya.

Selain itu, untuk buku yang dipesan juga, sudah terdaftar di Diknas, dengan buku yang ada logo kemendikbud.

"Jadi buku Kemendikbud yang ada logo dipojok pinggir sebelah kanan, ada tulisan Kemendikbud," ungkapnya.

Hal senada diutarkan salah satu pihak sekolah swasta di Kota Palembang, yang telah mendengar informasi bahwa, pembelian buku harus melalui izin diknas kota Palembang.

"Karena rencana kerja anggaran sekolah (RKAS) kita belum selesai, maka kita belum bisa menghadap ke Diknas Palembang, dan belum memesan buku," jelasnya yang minta namanya tidak dituliskan.

Dikonfirmasi terkait hal tersebu via telp, Kepala Dinas Pendidikan Kota Palembang, Ahmad Zulinto belum bisa menerangkan apapun karena sedang rapat.

"Nanti, aku lagi rapat," tutupnya. [R]


[rmol]. Hingga pertengahan tahun 2020, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) telah menerima laporan masuk sebanyak 57 laporan. Dari semua laporan yang masuk, sektor pendidikan masih menjadi perhatian lembaga yang khusus mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik ini.

Kepala Kantor Perwakilan Ombudsman Provinsi Sumsel, M. Adrian Agustiansyah menyampaikan, dari 57 laporan yang masuk, ada lima laporan terkait penyelenggaraan pendidikan.

Dimana, sejak awal pengawasan terus dilakukan terhadap dunia Pendidikan di kota Palembang, mulai dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) hingga pembelian buku mata pelajaran secara online (market place) melalui aplikasi  system informasi pengadaan sekolah (Sipla).

Bahkan belum lama ini, ada juga pihak dari asosiasi penerbit, yang datang untuk konsultasi terkait keluhan adanya pembelian buku pelajaran sekolah tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) sebesar 20 persen, pada penerbit tertentu atau ada praktik monopoli dalam pelaksanaan pembelian buku yang merupakan wewenang sekolah.

"Mereka datang masih sebatas konsultasi terkait adanya arahan oleh Dinas Pendidikan terhadap satu penerbit. Tapi kita minta agar mereka mencari dulu fakta di lapangan, jika memang ada upaya dari Dinas Pendidikan (Diknas) Kota Palembang dan pihak lain, untuk mengarahkan ke satu penerbit, ini ada apa," ungkapnya.

Adrian mengatakan, apa yang disampaikan terkait pembelian buku tersebut, juga pernah terjadi di NTB dan Ombudsman juga yang membongkarnya.

Dimana, Kantor Kementrian Agama mengarahkan langsung untuk memesan buku di satu tempat tertentu.

“Kami akan melihat terlebih dahulu, persoalan apa yamg terjadi. Karena, yang mengetahui persis persoalan ini dan data di lapangan adalah pihak penerbit,” tegasnya.

Tidak menutup kemungkinan, kata Adrian, pihaknya akan memanggil pihak terkait, jika konsultasi ini ada indikasi kebenarannya.

"Jika memang terjadi upaya seperti itu, maka silakan laporkan ke kami agar kami dapat segera melakukan investigasi ke lapangan," imbuhnya.

Harus dipahami, terkait penggunaan aplikasi Siplah, menjadi salah satu langkah Kementrian Pendidikan, agar tidak ada permainan yang dilakukan pihak sekolah.

"Mungkin dulu banyak yang melihat dana BOS ini, terkesan diragukan terkait pembelian barang yang dilakukan. Saya juga melihat, ini juga dilakukan agar harga-harga tersebut bisa bersaing," ulasnya.

Ia menegaskan, seluruh penerbit dan rekanan, mempunyai hak yang sama untuk melakukan penjualan dalam system online ini, terlebih penerbit dan rekanan ini, juga terdaftar resmi dalam Sipla tersebut.

"Kami minta agar mereka melihat lagi kondisi di lapangan. Nanti akan terlihat, apalagi nanti seluruh sekolah pakai satu penerbit yang sama, ini kan pasti ada apa-apanya," ulasnya.

Sementara itu, berdasarkan penelusuran dilapangan, beberapa sekolah mengaku jika pemesanan buku harus berdasarkan izin Dinas Pendidikan dan itu harus melalui pembelian online, melalui aplikasi Siplah.

"Sekarang kita tidak bisa pesan langsung ke penerbit, harus lewat aplikasi Siplah, dengan penerbit yang telah ditunjuk diknas kota," jelas salah satu pihak sekolah dasar negeri, yang enggan disebutkan namanya.

Selain itu, untuk buku yang dipesan juga, sudah terdaftar di Diknas, dengan buku yang ada logo kemendikbud.

"Jadi buku Kemendikbud yang ada logo dipojok pinggir sebelah kanan, ada tulisan Kemendikbud," ungkapnya.

Hal senada diutarkan salah satu pihak sekolah swasta di Kota Palembang, yang telah mendengar informasi bahwa, pembelian buku harus melalui izin diknas kota Palembang.

"Karena rencana kerja anggaran sekolah (RKAS) kita belum selesai, maka kita belum bisa menghadap ke Diknas Palembang, dan belum memesan buku," jelasnya yang minta namanya tidak dituliskan.

Dikonfirmasi terkait hal tersebu via telp, Kepala Dinas Pendidikan Kota Palembang, Ahmad Zulinto belum bisa menerangkan apapun karena sedang rapat.

"Nanti, aku lagi rapat," tutupnya.