CPO Melimpah, Aceh Berpeluang Punya Pabrik Minyak Goreng Sendiri

Ilustrasi/ist
Ilustrasi/ist

Aceh memiliki potensi besar di sektor perkebunan kelapa sawit dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah, yang mencapai 1 juta ton per tahun. Hal ini membuka peluang besar bagi pengembangan industri hilir, khususnya pembangunan pabrik minyak goreng.


“Kami melihat potensi besar dengan memanfaatkan sebagian kecil produksi CPO Aceh, sekitar 5-10 persen, atau setara dengan 80 ribu ton per bulan," ungkap Manajer Industri dan Perdagangan PT Pembangunan Aceh (PEMA), Sadikin Nugraha, dalam Focus Group Discussion (FGD) Jurnalis Ekonomi Aceh (JEA) di Banda Aceh, dikutip Kantor Berita RMOLAceh, Minggu, 13 Oktober 2024.

Sadikin mengatakan pengembangan pabrik minyak goreng sudah dalam tahap kajian serius. Dengan kapasitas tersebut, pabrik minyak goreng yang direncanakan bisa memproduksi 50-100 ribu ton minyak goreng per bulan.

"Kami optimis, dengan dukungan dari berbagai pihak, khususnya para pengusaha lokal Aceh, proyek ini dapat segera terealisasi," ujar Sadikin.

Meskipun demikian, kata Sadikin, PEMA masih menghadapi tantangan dalam mendapatkan pasokan CPO yang stabil. Saat ini, PEMA sedang dalam tahap negosiasi dengan para pengusaha kelapa sawit lokal untuk kontrak jangka panjang.

"Negosiasi ini bertujuan agar pasokan CPO dapat terpenuhi secara berkelanjutan," jelas Sadikin.

Sadikin meyakini, jika terealisasi, maka pabrik minyak goreng di Aceh ini akan menjadi salah satu pabrik utama di Indonesia yang memanfaatkan potensi besar produksi CPO lokal, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh melalui penciptaan lapangan kerja dan kontribusi terhadap pendapatan daerah.

"Pembangunan pabrik minyak goreng ini tidak hanya diharapkan meningkatkan nilai tambah dari produksi CPO Aceh, tetapi juga membantu mengurangi ketergantungan pada impor minyak goreng, sekaligus menjadikan Aceh sebagai salah satu pusat pengolahan kelapa sawit terkemuka di Indonesia," ujarnya.

Potensi besar ini, menurut Sadikin didukung oleh upaya berkelanjutan PEMA dalam mencari investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya dalam proyek strategis ini. Dirinya yakin, dengan iklim investasi yang baik, Aceh akan mampu menarik perhatian investor, sehingga proyek ini bisa terealisasi dalam waktu dekat.

"Target kami, pembangunan pabrik bisa dimulai tahun depan, tergantung pada hasil penjajakan investor," tutupnya.

Tantangan di Hulu dan Hilir Sektor Sawit Aceh

Sementara itu, Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh, Azanuddin Kurnia, juga menyoroti tantangan yang dihadapi dalam hilirisasi sektor kelapa sawit di Aceh. Menurutnya, sumber pendanaan untuk pengembangan hilir sektor ini tidak bisa lagi hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), sehingga diperlukan dukungan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Permasalahan tidak hanya di hilir, tapi juga di hulu. Masih sedikit lahan masyarakat yang dapat dimanfaatkan secara optimal," ujar Azanuddin. 

Kondisi tersebut, kata Azanuddin, tidak mungkin hanya bergantung pada pemerintah atau petani saja. "Kami berharap dilakukan perubahan untuk mendukung sektor ini," tambahnya.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Aceh, Fadli Ali, menyoroti tentang Malaysia, dengan luas lahan sawit yang lebih kecil, mampu memanfaatkan 150 turunan produk CPO.

"Malaysia mampu mengolah lebih banyak produk turunan meskipun luas lahannya hanya sekitar 16 juta hektar," jelasnya.

Ia juga menyoroti masalah biaya tinggi dalam pengangkutan CPO di Aceh. Hal itu dilihat dari truk-truk pengangkut CPO yang menempuh jarak jauh yang kemudian menyebabkan biaya angkut yang tinggi dan penyusutan dalam perjalanan. 

Menurut Fadli Ali, saat ini, luas total perkebunan kelapa sawit di Aceh mencapai 470.826 hektare. Aceh sendiri berkontribusi sebesar 3,36 persen terhadap luas lahan sawit nasional, dan 2,41 persen terhadap produksi CPO nasional. 

Namun, harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Aceh masih lebih rendah dibandingkan dengan provinsi tetangga seperti Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat. 

"Hasil rapat penetapan harga TBS Aceh selalu lebih murah Rp250-300 per kilogram dibandingkan dengan provinsi terdekat," jelas Fadli. 

Dengan tantangan-tantangan ini, kata Fadli, maka pembangunan pabrik minyak goreng di Aceh diharapkan dapat mendorong peningkatan harga dan kesejahteraan petani, serta meningkatkan daya saing industri sawit Aceh di tingkat nasional.