Birokrasi Indonesia Kelas Dunia "Karakteristik Birokrasi Indonesia"

Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si/ist
Dr. Rizki Kartika, S.Psi, M.Si/ist

BERBICARA mengenai Birokrasi Kelas Dunia, tentu tidak terlepas dari perbincangan tentang aktor-aktor yang berperan dalam Pemerintahan. Saat ini, kondisi aktor birokrat di Indonesia seharusnya telah sesuai dengan aturan yang berlaku. 

Dalam upaya pemenuhan tuntutan reformasi birokrasi setelah era orde baru, yang sebelumnya memiliki sifat otoriter dan kewenangan yang tidak terbatas pada lembaga eksekutif, kini terjadi perubahan yang signifikan melalui pembagian wewenang ke dalam enam lembaga negara berikut: 1. Eksekutif Lembaga Presiden; 2. Yudikatif Lembaga Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY); 3. Legislatif lembaga DPR RI; 4. Konstitutif Lembaga MK; 5. Inspektif/ Eksaminatif Lembaga BPK RI; dan 6. Moneter Lembaga Bank Indonesia. 

Ke- 6 (enam) urusan pemerintah ini dibagi sedemikian rupa agar sebagai upaya pemenuhan tuntutan reformasi birokrasi yang semula saat orde baru memiliki sifat otoriter yang tidak terbatas dari lembaga eksekutif, kondisi semula tentang batasan kewenangan dan kekuasaan yang tanpa ada batasan tersebut pada akhirnya dapat tereliminir secara signifikan.

Maka sebenarnya diskursus kekuasaan birokrat sebagai salah satu kekuatan politik pada orde baru hingga saat ini  adalah perbincangan tentang dikotomi politik dan administrasi itu sendiri yang menjadi fokus utama dari gerakan reformasi di Indonesia pada Tahun 1998 yang dipaksa untuk terjadi perubahannya secara signifikan. 

Birokrasi Indonesia pada saat itu diupayakan untuk didefinisikan ulang, kata “Pemerintah” sangatlah pelik, karena telah terstigma bahwa Pemerintah hanya ada 3 Lembaga atau disebut dengan “Trias Politika” yang kita ketahui bersama terdiri dari: Lembaga Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif pada era orde baru, namun pada praktiknya “Tri Tunggal” dengan dominasi Lembaga Eksekutif di semua kewenangan dan kekuasaan saat itu, hal ini yang menjadikan potret lembaga negara era orde baru digambarkan dengan tidak transparan. 

Koruptif, Kolutif, Nepotisme, Ketidakadilan Sosial, Hukum yang tidak berpihak, otoriter supersif dan lain sebagainya. Krisis Multi dimensional ini menjadi PR yang harus dirubah dan dipastikan memakan waktu yang tidak pendek, mengingat luasnya Catchment Area / area pelayanan Pemerintah Pusat hingga ke Pemerintah Daerah atau dikenal dengan sentralisasi. 

Gerakan reformasi 1998 adalah sebagai hajat nasional sebagai upaya untuk mengadministrasikan kembali kata “Pemerintah” dengan sebuah konsep tegas Pemerintahan yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang lahir dari rahim Reformasi tahun 1998. 

Konsep ini diturunkan operasionalisasinya secara administratif dengan prinsip “Good Government” dengan landasan aturan hukum berupa Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dan hal itu terdiri dari: 

1. Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. 

2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat. 

3. Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. 

4. Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin. 

5. Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. 

6. Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.

7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian.

Ke-7 (tujuh) tonggak prinsip ini dibuat agar dapat menjawab tantangan perubahan yang diinginkan oleh seluruh Rakyat Indonesia yang sudah lama terbelenggu oleh Pemerintahan Orde Baru yang selalu mempraktekan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan himpitan krisis moneter yang dirasakan oleh segenap tumpah darah manusia Indonsesia saat itu. 

Maka dari itu untuk mempercepat Aparatur keluar dari jebakan Praktik KKN pada Ekosistem Birokrasi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang pada saat itu di Tahun 1998 masih disebut dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), selain telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2020-2025 dan beberapa peraturan terkini dari Permenpan RB Nomor Nomor 3 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2020 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 yang arah tujuannya untuk mendukung dan mengoptimalkan capaian sasaran pembangunan nasional dan daya saing Indonesia di kancah internasional.

Sehingga diperlukan penajaman hubungan sebab akibat atau causalitas dan penyelarasan kondisi yang akan dicapai, pencapaiannya dengan menentukan level fokus pelaksanaan reformasi birokrasi melalui 3 (tiga) sasaran strategis RB yang sebelum penajaman sebagai berikut: birokrasi yang bersih dan akuntabel, birokrasi yang kapabel, dan pelayanan publik yang prima. 

Selanjutnya setelah penajaman, sasaran strategis RB disederhanakan menjadi 2 (dua) aspek yaitu: 1) aspek Hard Element adalah bagian dari kerangka logis RB yang merupakan berbagai perangkat yang terkait dengan akuntabilitas, kelembagaan, tatalaksana, cara kerja, strategi, serta sistem dan regulasi dalam pemerintahan dan; 2) aspek Soft Element berbagai perangkat yang terkait dengan budaya kerja aparatur dan sumber daya manusianya yang akan mengisi dan menjalankan 7 (tujuh) aspek Hard Elemen yang telah disebutkan diatas.

Ini merupakan karakteristik “Ideal” dari wajah Birokrasi Indonesia yang sangat mungkin untuk dilaksanakan, meskipun pada prakteknya dipastikan tidak akan selalu mulus pada tahapan implementasinya disebabkan beberapa hal tekhnis diantaranya; 1) luasnya area Indonesia secara jangkauan geografis dalam upaya menyelaraskan seluruh aturan hukum dan prosedurnya, dan; 2) distribusi SDM Aparatur yang mumpuni masih terpusat di Lembaga Kementerian, dan yang terbanyak jumlahnya berada pada Kementerian Pendidikan, aparatur yang berkompeten secara akademisis seyogyanya dapat didistribusikan ke Pemerintah Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia yang saat ini sangat kekurangan aparatur baik secara jumlah maupun kualitas. Disparitas yang terlalu tinggi ini yang menjadikan transformasi pada kebayakan lembaga pemerintah daerah seperti jalan ditempat. 

Disisi lain dari penjelasan ini terdapat sisa waktu sekitar 1(satu) tahunan lagi untuk pemerintah Indonesia melaksanakan amanat dari Road Map Reformasi Birokrasi dengan segala upayanya untuk membentuk lembaga birokrasi yang ideal diseluruh jajaran pemerintahan di Indonesia yang mengedepankan sasaran Reformasi Birokrasi dari penajaman Hard Element dengan ciri-ciri berikut ini: akuntabilitas sebagai perwujudan pertanggungjawaban; kelembagaan yang profesional; tatalaksana organisasi yang simpel dan mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat; cara kerja aktor atau pegawai ASN yang bebas dari praktik KKN, strategi kinerja lembaga pemerintahan dalam pelayanan dan pencapaian target kinerja; sistem dan regulasi dalam pemerintahan yang berpihak kepada kepentingan umum. 

Kemudian untuk aspek hasil dari Reformasi Birokrasi  dari penajaman Soft Element adalah berikut ini; perangkat budaya kerja Individu Aparatur dan lembaga negara harus simetris; dan Sumber Daya Manusia Aparatur yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang kerjanya (Talent Pool). Sehingga pada akhirnya masyarakat dapat menilai secara fair pada tahun awal Tahun 2025, apakah rancangan perubahan ini bisa dicapai oleh pemerintah? Bila tidak tercapai, masyarakat berhak meminta jawaban dan penjelasan dari Pemerintah Pusat dengan menanyakan “ mengapa tujuan Reformasi Birokrasi ini tidak berhasil dilaksanakan hingga batas waktu pencanangannya yang berakhir di akhir tahun 2024?

Terlepas dengan apa “jawaban” dari pertanyaan yang akan muncul tersebut, maka dalam artikel ini mencoba menggambarkan sekelumit potret karakteristik birokrasi ideal dari Pemerntah Indonesia yang telah direncanakan mulai tahun 1999 hingga tahun 2024 sebagai sebagau upaya jawaban untuk sebuah negara dengan birokrasi yang bisa bersaing dikancah internasional, “disegani” oleh negara sahabat maupun negara pesaing Indonesia disemua urusan dunia. 

Potret ini akan menggambarkan bahwa nanti diawal tahun 2025 birokrat Indonesia baik itu birokrat pemerintah pusat maupun di daerah akan berdiri tegak “sejajar” dan memiliki “martabat” yang sangat dihormati karena kedaulatannya dikancah global dengan menunjukan eksistensinya yang berpengaruh ber-level dunia, memiliki daya tawar tinggi sebagai salah satu aparatur dari negara besar dan kuat secara ekonomi, budaya, keilmuan, teknologi, pertanian, kelautan, kehutanan hingga pertahanan. Semua itu terjadi karena telah berhasil me-reform birokrasinya yang semula selalu dihiasi dengan praktik KKN yang kemudian bertranformasi menjadi birokrasi berstandard level dunia yang tersertifikasi international (Sound Governance).

Semua hal yang dijelaskan diatas akan dilihat realitas capaiannya oleh segenap masyarakat Indonesia pada awal tahun 2025 yang akan datang, bila tercapai maka wajib untuk bersukacita, dan jika sebaliknya maka perubahan yang diharapkan belum terwujud dan kiranya mimpi untuk menjadi bagian dari jajaran negara maju  di level dunia perlu diimpikan kembali dengan memperbaiki kesalahan instrumen penyelenggaraan Refomasi Birokrasi yang telah berlaku sebagai bahan kajian evaluasi dari Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2024.