Program “Quick Wins” dari Road Map Reformasi Birokrasi yang termaktub dalam Peraturan MENPAN RB Nomor 11 Tahun 2015 menawarkan solusi percepatan Reformasi Birokrasi dan satu recana program “Birokrasi Kelas Dunia”.
Program ini kemudian dikonkritkan melalui Peraturan MENPAN RB Nomor 25 Tahun 2020 yang dinilai sangat ideal, karena didalamnya terdapat 8 (delapan) prioritas /list of priority dari Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 sebagai berikut : (1) Manajemen Perubahan; (2) Deregulasi Kebijakan; (3) Penataan Organisasi; (4) Penataan Tata Laksana; (5) Penataan SDM Aparatur; (6) Penguatan Akuntabilitas; (7) Penguatan Pengawasan; dan (8) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.
Kedelapan area prioritas perubahan ini juga mencantumkan indikator minimum perubahan yang harus bisa diwujudkan oleh Kementerian, Lembaga Negara dan Pemerintah Daerah. Saat ini menjadi keharusan, maka pertanyaan yang muncul adalah, apakah road map ini bisa terlaksana sebagai tolok ukur keberhasilan reformasi birokrasi di seluruh jajaran pemerintahan?
Delapan area ini tentu bisa dengan mudah dilakukan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bekualitas pada lembaga pemerintah pusat, sebab SDM dilembaga pemerintah pusat disokong oleh SDM yang mumpuni, sesuai data statistik yang menyebutkan SDM di Pemerintah Pusat statusnya lebih unggul baik secara kuantitas maupun kualitas latar belakang pendidikannya dibandingkan dengan kemampuan SDM di Pemerintah Daerah.
Lalu bagaimana dengan daerah? Kedelapan area garapan ini mungkin bisa cepat terlaksana bila sumber daya manusia dilembaga pemerintah Daerah sigap dan menindaklanjuti kebijakan dari peraturan ini secara seksama, dengan kemampuan dan semangat bersaing dengan pemerintah pusat.
Sebab, secara faktual hampir di seluruh Pemerintah Daerah baik itu Pemerintah Provinsi, Kota/ Kabupaten biasanya untuk membumikan sebuah program, seperti program Road Map Reformasi Birokrasi Tahun 2020-2024 ini, akan digawangi dengan leading sektornya yakni Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Badan Kepegawaian Pendidikan & SDM (BKPSDM) dan Biro Ortala. Namun, kendala yang muncul biasanya 3 (tiga) lembaga tersebut kesulitan untuk mengejawantahkan apa maksud dari “birokrasi kelas dunia” kepada seluruh OPD yang ada di Pemerintah Daerahnya.
Hal ini berkenaan dari apa yang saya baca dari indikator minimum yang disajikan dalam tabel matrik 8 (delapan) area perubahan dalam Peraturan ini dan mulai memproyeksikan operasionalisasi peraturan perundang-undangan ini, maka kesan pertama yang ada dalam benak saya adalah peraturan ini kurang kongkrit secara operasional dan masih terlalu normatif. Sejogjanya diberikan juga petunjuk teknisnya, karena tanpa petunjuk teknis akan menimbulkan multi tafsir bagi siapa saja yang membacanya.
Untuk menanggulangi kesalahan tafsir ini, maka langkah yang harus dilakukan oleh Kementerian PAN RB adalah upaya “pelembagaan” kebijakan ini secara top-down dengan mensosialisasikan petunjuk teknis dari peraturan ini secara intens dalam kegiatan workshop ke setiap Pemerintah Daerah, kemudian melatih peserta workshop dan mengarahkannya untuk mengerjakan setiap butir indikator minimum tersebut secara proper/tepat.
Kenapa sosialisasi ini harus dilakukan? Bukan tanpa alasan, Pemerintah Daerah tidak akan sanggup untuk mewujudkan kondisi ideal yang dimaksud dari Road Map Reformasi Birokrasi disebabkan beberapa penyebab biasanya karena beberapa hal sebagai berikut ini;
1.Telah diakui oleh para ahli Administrasi Publik bahwa karakter Pemerintahan Daerah bentuknya adalah Asimetris, aritnya bentuk Pemerintahan Daerah tidak akan pernah sama satu dengan lainnya. Sebut saja contohnya Pemerintah DKI Jakarta memiliki bentuk yang paling berbeda dengan seluruh Pemerintah Provinsi yang ada di Indonesia, di Pemerintah DKI Jakarta Jabatan Wali Kota itu ditunjuk oleh Gubernur, itu salah satu contoh kongkrit belum lagi contoh-contoh perbedaan lainnya lainnya;
2.Berhubungan dengan asimetrisnya Pemerintah Daerah maka terdapat ketimpangan dalam sebaran SDM yang mumpuni. Pasti ada kesenjangannya, sehingga SDM yang sanggup untuk mewujudkan Peraturan MENPAN RB di tingkat daerah sangat terbatas, meskipun sesungguhnya Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota dapat bekerja sama atau berkonsultasi dengan Akademisi baik itu Profesor maupun Doktor yang berkompeten dari Perguruan Tinggi didaerahnya jika ada kemauan. Sebab, saya meyakini Peraturan MENPAN RB Nomor 25 Tahun 2020 adalah produk hukum yang baik yang berasal dari hasil telaah naskah akademis dari Lembaga Perguruan Tinggi.
3.Keterbatasan kemampuan keuangan daerah juga dapat menjadi penyebab dari tidak berjalannya Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 ini, karena berinovasi itu memerlukan kajian akademis sehingga bisa terukur kebermanfaatannya dari produk reformasi Pemerintah Daerah sebagai “longitudinal output” yang tidak kacangan sifatnya.
4.Ketidakmampuan Inovasi dari Pimpinan OPD sebanding lurus dengan taraf intelektual yang belum maksimal sehingga selalu terjebak dalam kegiatan yang ceremonial belaka. Dimana menurut hemat saya mindset pejabat ceremonial sejogjanya tidak ada lagi dizaman teknologi 4.0, karena pejabat ceremonial sesungguhnya adalah parasit dari program Reformasi Birokrasi. Salah satu contoh untuk mendapatkan atlet dari pemuda asli daerah, Pemerintah Daerah tidak mengeluarkan program pembinaan atlet yang terstruktur dan sistematik, namun justru mengadakan kegiatan kompetisi yang sifatnya tanpa pembinaan atau hura-hura saja seperti lomba maraton piala Kepala Daerah untuk seluruh masyarakat di Kota/Kabupaten tersebut, padahal sebaiknya perlombaan tersebut lebih dikhususkan untuk atlit atletik yang sudah masuk program pemusatan disetiap kecamatan.
Dalam artikel ini saya memberikan penekanan bahwa kebijakan Top-Down adalah ciri dari Reformasi dari Negara Agraris dan biasanya bentuk masyarakatnya adalah masyarakat prismatik yang sangat erat dengan budaya prImordial. Bagi masyarakat prismatik pimpinan itu adalah Raja dan masayarakat harus melayani Rajanya, minimal dengan mendermakan hasil panennya, ini adalah salah satu ciri ceremonial asli dari masyarakat agraris (baca Riggs:1985). Maka agenda kerja pemerintah yang ceremonial secara existing saat ini hanya digunakan sebagai media darling, justru karena alasan itu sebaiknya Pejabat Negara lebih mengerti untuk tidak melakukannya sebagai percepatan Reformasi Birokrasi. Kalaupun harus mendapatkan penghargaan dari produk-produk Reformasi Birokrasi yang dilahirkan oleh Pemerintah Daerah, haruslah berdasarkan penilai dari lembaga khusus yang berstandard international bukan berasal dari penilaian sesama Lembaga Pemerintahan.
Penilaian/evaluasi dari Lembaga Pemerintahan yang lebih tinggi itu cukup dijadikan sebuah tugas rutin yang mulia, namun penilaian dari lembaga international adalah bentuk pengakuan resmi dunia akan keberhasilan capaian dari Reformasi Birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah. Pertanyaannya sekarang adalah “apakah raihan Reformasi Birokrasi yang lalu dan rencana raihan Reformasi Birokrasi yang akan datang sudah diakui oleh dunia? Bila belum, sungguh kita bermimpi untuk menjadi Birokrasi Kelas Dunia !!!!
- Antara Kiky Saputri, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan
- Pilkada Serentak, Politik Uang, dan Masa Depan Kepemimpinan di Indonesia
- Salah Satu Kekonyolan UU Minerba