Mengkaji Kepantasan Mantan Narapidana Korupsi Jadi Caleg

Ilustrasi Korupsi. (ist/net)
Ilustrasi Korupsi. (ist/net)

Sebut saja pernyataan kepemimpinan tiga periode, kepemimpinan itu estafet, dan yang terbaru adalah mantan narapidana dan koruptor diperbolehkan untuk menjadi calon legislatif (caleg). 

Tentunya, pernyataan ini menjadi bertolak belakang dengan pemilu berintegritas. Walaupun harus diakui bahwa pertanyaan tersebut, belum memiliki jawaban tunggal yang sesuai dengan semua situasi.

Akan tetapi, setidaknya menjadi suatu pertimbangan bahwa isu ini akan melibatkan banyak pertimbangan yaitu moral, etika, hukum, kepantasan, keadaban, tuntutan untuk pemulihan masyarakat dan sistem politik yang lebih baik. 

Demokrasi di Indonesia sudah semestinya bukan saja menampilkan hasil kalah dan menang, tapi harus menampilkan ada b berpolitik yang baik. 

Tidak akan kemenangan sejati dan tidak ada kekalahan yang merugi, ketika demokrasi yang dituju untuk kemajuan bersama dan kemajuan negara yang sesungguhnya. 

Semua memahami bahwa pemilihan umum adalah puncak demokrasi. Di mana rakyat memiliki kesempatan untuk memilih wakil-wakil mereka dengan tujuan agar dapat mewakili kepentingan dan aspirasi melalui lembaga legislatif. 

Sudah semestinya semua calon wakil rakyat itu memiliki kebaikan, kecerdasan, komitmen, integritas dan kesadaran bahwa ia adalah wakil rakyat. 

Pada realitasnya masih ada caleg matan narapidana yang pernah terlibat kasus korupsi. Jika ini perbolehkan maka akan banyak sekali pertanyaan. Tentunya pertanyaan ini bukan pada hak politik namun lebih pada etika, moralitas dan integritas.  

Harus diingat, bahwa korupsi merupakan salah satu tindakan kriminal serius yang merugikan negara dan masyarakat. Narapidana korupsi merupakan individu yang melanggar kepercayaan publik dan menyalahgunakan kekuasaan serta dana publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi. 

Perbuatan ini yang menjadikan mereka, pelaku korupsi menjadi terpasung atas hak-hak yang ia miliki, tentunya ini akan berimbas pada langkah-langkah kehidupan selanjutnya, termasuk di dalamnya langkah di dunia politik. 

Seseorang yang pernah korupsi telah kehilangan integritasnya dan tidak pantas untuk mewakili masyarakat dalam lembaga legislatif. 

Sehingga, mengizinkan mantan narapidana korupsi menjadi caleg dapat memberikan pesan yang salah dan buruk kepada masyarakat. Padahal sudah semestinya pelaku korupsi harus dikecam, bukan diberikan legitimasi untuk berkuasa.

Bisa kita bayangkan dalam mengambil keputusan, mantan narapidana korupsi mungkin memiliki konflik kepentingan, di mana mereka dapat memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi atau kelompok yang berada di luar kepentingan umum.

Pada sisi lain harus juga dipahami bawah setiap individu berhak mendapatkan kesempatan kedua dan kesempatan untuk pemulihan. Akan tetapi, dalam konteks hak politik mantan koruptor harus dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan serius tentang etika dan integritas. 

Sehingga aturan yang berkaitan dengan hal ini harus tegas dan transparan, sebab kesalahan dalam aturan akan berdampak dalam kehidupan politik baik itu proses dan hasilnya.   

Apabila seseorang telah menjalani hukuman dengan sungguh-sungguh, menunjukkan penyesalan yang tulus, dan terlibat dalam upaya memulihkan kerusakan yang disebabkan oleh tindakan mereka, ada argumen yang mengatakan bahwa mereka berhak mendapatkan kesempatan untuk berkontribusi kembali dalam masyarakat melalui dunia politik. Namun, harus ada mekanisme yang ketat untuk menilai apakah perubahan tersebut bersifat tulus atau hanya sekadar strategi untuk memulihkan citra.

Adanya kekhawatiran bahwa keterlibatan mantan narapidana korupsi dalam politik dapat merusak citra lembaga legislatif dan memicu kembali tindakan korupsi. Masyarakat dapat merasa skeptis terhadap integritas mereka dan meragukan tujuan sebenarnya dalam mencalonkan diri. 

Oleh karena itu, partai politik perlu mempertimbangkan dampak yang mungkin timbul dari pencalonan mereka, baik terhadap citra partai maupun kepercayaan publik secara keseluruhan.

Keputusan apakah mantan narapidana korupsi pantas menjadi calon legislator seharusnya didasarkan pada evaluasi menyeluruh terhadap kasus masing-masing, upaya pemulihan yang telah dilakukan, serta dampak yang mungkin timbul dari keterlibatan mereka dalam politik. 

Masyarakat juga perlu terlibat dalam diskusi ini, karena mereka memiliki hak untuk menyuarakan pandangan mereka terhadap integritas dan etika para calon legislatif.

*Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Pringsewu dan Founder Tadarus Kehidupan