Bancakan Proyek Rehabilitasi Rumdin Pimpinan DPRD Sumsel, Nilai Miliaran Tanpa Perencanaan, Dipecah Puluhan Paket

Dari kiri ke kanan, Ketua DPRD Sumsel, Anita Noeringhati , Wakil Ketua I Giri Ramanda, Wakil Ketua II, Kartika Sandra Desi dan Wakil Ketua III Muchendi Mazareki/kolase
Dari kiri ke kanan, Ketua DPRD Sumsel, Anita Noeringhati , Wakil Ketua I Giri Ramanda, Wakil Ketua II, Kartika Sandra Desi dan Wakil Ketua III Muchendi Mazareki/kolase

Dugaan bancakan proyek rehabilitasi/renovasi rumah dinas pimpinan DPRD Sumsel pada 2022 lalu terungkap dalam laporan hasil pemeriksaan BPK RI Perwakilan Sumsel atas Laporan Keuangan Pemprov Sumsel pada 2022 lalu. 


Berdasarkan laporan tersebut disimpulkan, pekerjaan rehabilitasi tersebut diduga tanpa perencanaan yang matang. Sebab proyek tersebut dipecah menjadi puluhan paket pekerjaan dengan mekanisme pengadaan langsung. Pemecahan paket proyek dilakukan sesuai kebutuhan atas permintaan masing-masing penghuni rumah dinas, mulai dari Ketua DPRD Sumsel, Wakil Ketua I, Wakil Ketua II dan Wakil Ketua III. 

Pekerjaan itu pun menjadi temuan yang tertuang dalam laporan yang didapat Kantor Berita RMOL Sumsel. Didalamnya disebutkan bahwa Sekretariat DPRD menganggarkan Belanja Modal sebesar Rp10.985.190.700,00 dan telah direalisasikan sebesar Rp10.826.394.950,00 atau sebesar 98,55% dari anggaran. 

Realisasi tersebut diantaranya untuk kegiatan Belanja Modal Rumah Negara Golongan I berupa pembangunan atau rehabilitasi gedung. Dari pemeriksaan terhadap kegiatan tersebut, diketahui terdapat 41 paket pekerjaan yang menggunakan mekanisme pengadaan langsung sebesar Rp7.636.738.450,00. 

Paket pekerjaan tersebut merupakan usulan Kepala Subbagian (Kasubbag) Umum, Kasubbag Perlengkapan, dan Kasubbag Rumah Tangga pada Sekretariat DPRD dengan rincian rumah dinas Ketua DPRD, Anita Noeringhati sebanyak 9 paket pekerjaan penunjukan langsung dengan total nilai Rp1.715.086.600. 

Lalu, rumah dinas Wakil Ketua I DPRD Sumsel, Giri Ramandha Kiemas sebanyak 21 paket pekerjaan penunjukan langsung dengan total nilai Rp3.870.822.450. Selanjutnya, rumah dinas Wakil Ketua II DPRD Sumsel, Kartika Sandra Desi sebanyak 9 paket pekerjaan penunjukan langsung dengan total nilai Rp1.681.720.400. Terakhir, rumah dinas Wakil Ketua III DPRD Sumsel sebanyak 2 paket pekerjaan penunjukan langsung dengan total nilai sebesar Rp369.109.000. 

Puluhan paket pekerjaan yang berdekatan dengan tipe pekerjaan pembangunan/rehabilitasi gedung tersebut tidak dilakukan konsolidasi atau penggabungan paket pekerjaan/kontrak. Pemeriksaan pada DPA dan Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran (DPPA) Sekretariat DPRD diketahui bahwa anggaran kegiatan tersebut tidak dirinci sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. 

Tim BPK yang mengorek keterangan dari Pengguna Anggaran menemukan bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang bersifat dadakan atau menyesuaikan kebutuhan atas permintaan masing-masing penghuni rumah dinas. Namun, kegiatan pembangunan/rehabilitasi gedung tersebut tetap diverifikasi dengan melibatkan dinas teknis dan konsultan. 

Terkait dengan konsolidasi pekerjaan yang sejenis dan berdekatan, karena pekerjaan tersebut tidak dilakukan pencatatan rinci dan bersifat permintaan maka untuk mengkonsolidasikan paket tersebut diawal pelaksanaan anggaran tidak dilakukan. 

Sementara Sekretaris DPRD selaku Pengguna Anggaran belum melakukan proses survei dan verifikasi secara memadai atas seluruh usulan kegiatan Belanja Modal dan konsolidasi paket-paket pekerjaan yang dapat digabung sebelum pengesahan DPA. Atas dasar itu, BPK merekomendasikan Gubernur Sumatera Selatan agar memerintahkan Sekretaris DPRD untuk menyusun mekanisme terkait waktu pengusulan nama paket pekerjaan sebelum pengesahan DPA.

Deputi Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K-MAKI) Sumsel, Feri Kurniawan mengatakan proyek renovasi rumah dinas pimpinan DPRD Sumsel bukanlah hal yang mendesak. Apalagi proses pengerjaan yang dilakukan dengan pemecahan paket proyek diduga kuat sarat dengan kepetingan pribadi.

"Sebenernya tidak ada urgensinya dari proyek ini, justru ini menimbulkan kecurigaan dengan pembagian paket apalagi menjadi temuan BPK. Disnilah kami menduga pengerjaan paket ini ada kepentingan dari para pimpinan itu sendiri. Kalau mau enak kenapa tidak sewa kost-kost lebih hemat dan bermanfaat," katanya.

Lebih lanjut Feri mengatakan pemecahan paket proyek sengaja dilakukan kerena memiliki modus dan tujuan tertentu. "Sepengamatan kami biasanya pemecahan itu dilakukan agar bisa menunjuk pihak-pihak tertentu untuk melaksanakan proyek. Istilahnya, bagi-bagi kue, seperti bancakan," kata Feri. 

Apalagi, kata Feri, alasan Sekretariat DPRD melakukan pemecahan itu karena menyesuaikan kebutuhan atas permintaan masing-masing penghuni rumah dinas. Dugaan korupsi itu menjadi semakin kuat. Selain menimbulkan celah korupsi, pemecahan proyek membuat proses pengadaan barang dan jasa tidak efisien. Sebab, dalam setiap paket pekerjaan terdapat biaya honor bagi orang-orang yang terlibat didalamnya. "Jadi sama saja pemborosan anggaran," ucapnya.

Sehingga, akibat temuan ini terjadi peningkatan resiko pelaksanaan pekerjaan barang/jasa dan belanja modal tidak efisien dan tidak mencapai tujuan. Hal ini disebabkan oleh Sekretaris DPRD selaku pengguna anggaran belum melakukan proses survei dan verifikasi secara memadai atas seluruh usulan kegiatan belanja modal; dan Konsolidasi paket-paket pekerjaan yang dapat digabung sebelum pengesahan DPA.

Terpisah, Wakil Ketua DPRD Sumsel, Muchendi Mahzareki mengaku tidak tahu soal detil temuan BPK tersebut. "Aku cek dulu," kata politisi Partai Demokrat ini usai rapat paripurna DPRD Sumsel, Senin (24/7).

Muchendi mengatakan, BPK setiap tahunnya memberikan sejumlah catatan terkait kinerja keuangan dari masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Catatan itu terangkum dalam buku Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). 

"Untuk detil temuan-temuan itu aku lupo, dan temuan itu bukan hanya di DPRD saja tapi  OPD-OPD di Sumatera Selatan juga," katanya.

DPRD Sumsel juga selama ini terus menjalankan fungsinya dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja eksekutif. "DPRD Sumsel selalu ada mengevaluasi dan mengingatkan Sekretariat DPRD Sumsel dan OPD-OPD lain. Mudah-mudahan dengan adanya beberapa temuan itu ini menjadi bahan  evaluasi, perbaikan sehingga di kemudian hari di tahun-tahun yang akan datang tidak akan terulang lagi," ucapnya.

Ketua Komisi I DPRD Sumsel, Antoni Yuzar menambahkan, setiap temuan BPK harus ditindaklanjuti selama 60 hari jika tidak bisa menjadi bahan aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya. "LHP itu rata-rata ada rekomendasi bentuknya, misal pengembalian uang ke kas negara," ucapnya. 

Terkait adanya sejumlah temuan BPK dalam LHP Provinsi  Sumatera Selatan (Sumsel) 2022, salah satunya mengenai  proyek rehabilitasi rumah pimpinan DPRD, politisi PKB ini mengaku lupa.

"Jika ada temuan maka uangnya harus kembali, ada yang bertanggung jawab yaitu pihak ketiga kalaupun bermasalah kontraktornya yang mengembalikannya, bukan anggota dewannya beda, kalau anggota dewan seluruhnya clear tidak ada yang minta dikembalikan,” tegasnya. (tim).