Ali Farazmand salah satu penulis yang sangat aktif memberikan gambaran tentang perkembangan reformasi dinegara-negara berkembang, dia memiliki dua kesimpulan; pertama Reformasi Administrasi bagi negara industri dikatagorikan sebagai proses perubahan dalam struktur administrasi atau prosedur pelayanan publik yang berdasarkan kepada harapan lingkungan sosial politik yang tidak sejalan lagi dengan sistem administrasi atau prosedur pelayanan publik yang lama (fundamental). Kedua, bagi negara berkembang, Farazmand cenderung menilai bahwasanya reformasi adalah modernisasi dan perubahan dalam masyarakat untuk “mempengaruhi” transformasi sosial dan ekonomi.
Kata kunci reformasi dalam negara berkembang dari ulasan Farazmand adalah kata “mempengaruhi”, berarti reformasi yang terjadi di Indonesia tidak pernah lepas dari para aktor yang dapat mempengaruhi masyarakatnya, hal ini wajar karena warga negara kita kebanyakan dari sekumpulan masyarakat adat atau paguyuban yang memiliki beberapa norma-norma sosial yang berlaku umum untuk seluruh anggota masyarakatnya, maka bila diberikan dorongan untuk ber-reformasi ria itu hanya akan berwujud sebuah transformasi sosial dan ekonomi saja.
Reformasi administrasi menurut sahabat saya Dr. Sena ditandai dengan gerakan New Public Management, indikatornya seperti tenaga kerja di outsourcing-kan, penyederhanaan kelembagaan/ downsizing dan perombakan SOP hingga aturan hukumnya. Namun menurutnya untuk negara Indonesia itu unik, upaya “pengaruh” dari para penguasa yang mengusung dan melaksanakan reformasi lebih berifat mobilisasi bukan reformasi. Ditambah lagi nilai akar budaya masyarakat sudah rusak karena pengaruh demokrasi yang sifatnya voting 50 plus 1, bukan lagi musyawarah mufakat seperti dahulu. Padahal Desa/ Kelurahan adalah lembaga yang seharusnya melestarikan akar budaya ini, namun kita lihat saat ini demokrasi voting sudah sampai dilevel RW dan RT, dalam kondisi seperti ini maka yang akan terpilih tidak lagi tokoh yang dituakan/ disegani karena kemampuan leadershipnya serta kapasitas keilmuannya, justru yang terpilih menjadi pemimpin adalah mereka yang memiliki kekuasaan berlebih, memiliki uang dan sumber daya lainnya.
Saya membaca sebuah artikel dari Gavin Kennedy (2009), dia menulis artikel tentang “Adam Smith and The Invisible Hand: From Metaphor to Myth”, dalam tulisan ini Adam Smith mencoba membangun sebuah teori dengan begitu halus penjelasannya tentang apa dan siapa itu The Invisible Hand, saking halusnya personifikasi akan kekuasaan ini lebih digambarkan sebagai “tuan tanah” yang serba berlebih dan kedudukannya tidak dapat digoyahkan oleh apapun, titahnya adalah perintah, meskipun itu untuk membusukkan atau membuang hasil panennya sehingga berdampak negatif bagi pasar. Maka sesungguhnya lipatan kapital baik itu lahan, hasil bumi, SDM yang dimiliki, otoritas wilayah, pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan status sosial lainnya merupakan kemungkinan deskripsi yang tersusun untuk menjelaskan apa dan siapa itu “The Invisible Hand”, maka saya yakin anda semua sudah dapat mendeskripsikannya bukan?
Diskusi ini mengingatkan saya bahwa “The Invisible Hand” sangat dominan di negara Indonesia, baik itu tingkat pusat hingga lokal, ini pertanda bahwa Pemerintah baik itu Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah tidak akan pernah lepas dari pengaruh “The Invisible Hand”, bahasa gampanganya dia adalah “sponsor” yang mensukseskan pemimpin saat ini menduduki jabatannya. Apa yang akan terjadi selanjutnya bila kondisi ini terus berjalan, yang sangat mungkin terjadi adalah terbentuknya pola kerjasama antara simpul kekuasaan atau secara teori disebut dengan “Patronage Client” dan disaat dibiarkan berkembang sebentar saja, patronase ini bertranformasi untuk saling menguntungkan sesamanya atau secara teori disebut dengan “Rent Seeking”, inilah bukti disaat reformasi dinegara berkembang lebih kental nuansa politiknya (KKN) dibandingkan kebutuhan akan tertib administrasinya (administration need), bukankah semua ini yang kita rasakan? Seperti agenda demokrasi sebagai ujung tombak reformasi dibidang politik namun ujung-ujungnya hanya berwujud “mobilisasi” kekuasaan dengan mengarahkan SDM Aparatur Sipil Negara untuk mendukung salah satu paslon atau incumbent. Adalagi “memobilisasi” dukungan dengan membumi ratakan partai-partai untuk menjadi 1 warna politik.
Ini adalah konsekuensi bagi Pemerintah yang miskin untuk sisi administrasinya, maka pemerintahan seperti ini akan selalu bergantung dengan “The Invisible Hand”. Gaya serta pola ini sangat kental dinegara berkembang yang sedang memiliki agenda reformasi dan akan selalu berulang hingga masyarakatnya tidak lagi peduli dengan politik, salah satu indikatornya tidak menggunakan hak suaranya untuk memilih kepala negara, kepala daerah hingga ketua RT dan RW, namun sebaliknya masyarakat modern sangat peduli dengan hak admininistrasi kewarganegaraannya dan mereka akan terus menyuarakannya kepada pemerintah.
- Fenomena Mutasi ASN Sumsel: Nasib Pegawai yang Berseberangan dengan Kepala Daerah Baru
- Pemerintah dan Covid-19