AJI Rancang Platform Digital Pendataan Kekerasan Jurnalis

ilustrasi (ist/rmolsumsel.id)
ilustrasi (ist/rmolsumsel.id)

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tengah merancang platform digital pendataan dan pelaporan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Platform berbentuk website tersebut saat ini sedang dalam pengembangan bekerjasama dengan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB.


“Kami sudah melakukan pemantauan sejak 2014 terkait data kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis, tapi belum tersusun rapi dan kurang efisien dalam kinerjanya. Oleh sebab itu pada platform terbaru ini diharapkan menjadi solusi bagi para jurnalis,” kata Ketua bidang advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung saat menjadi pemateri dalam webinar yang mengusung tema ‘Menyajikan Pelaporan Data Kekerasan Jurnalis Yang Presisi’ Jumat (10/9).

Erick menjelaskan platform advokasi ini, ditampilkan data lengkap terkait kekerasan-kekerasan yang pernah terjadi terhadap jurnalis di Indonesia. Mulai dari kekerasan yang tercatat dari tahun 2006 sampai 2020.

“Untuk kekerasan yang terjadi di 2021 ini masih belum valid ya, sebab kami menerima kasus-kasus dengan kategori baru yang tentu harus kita perbarui lagi platformnya,” ucapnya.

Erick mengaku kesulitan dalam membuat platform ini mulai dari desain webnya, serta penambahan kategori atau penyesuaian terhadap data-data baru yang diterima. “Data 2021 ini sudah ada kami pegang, tapi belum ditampilkan di web sebab belum ada kategorinya,” tambahnya.

Lalu, terdapat juga kanal yang menjadi bagian dari platform ini seperti kanal data kekerasan, musuh kebebasan pers, kanal Lapor untuk membuat laporan, cara melapor, hingga modul terkait perlindungan jurnalis.

Untuk kanal lapor sendiri tak hanya ditujukan bagi anggota AJI. “Iya selain anggota AJI, kawan-kawan pewarta yang tergabung dalam organisasi lain juga bisa mengadukan kekerasan ke platform ini dengan kanal tamu,” bebernya.

Akan tetapi bukan berarti data yang dilaporkan langsung bisa ditampilkan kedalam platform. Menurut Erick, data yang masuk itu akan lebih dahulu diverifikasi kepada AJI setempat tentang kebenaran dari laporan tersebut.

Ketua Komisi Hukum Dan Perundang-Undangan Dewan Pers, Aghung Dharmajaya mengatakan verifikasi terhadap laporan sangat penting dalam menindaklanjuti kekerasan yang terjadi. “Seorang jurnalis bisa menjadi korban bahkan pelaku, hal ini tergantung sebab dan akibatnya,” ucapnya

Aghung menjelaskan skema pelaporan yang dilakukan dalam Dewan Pers melalui Komisi Pengaduan, kemudian akan dilakukan proses verifikasi terkait kebenarannya.

“Kalau ada laporan yang masuk, kami selalu memverifikasi hingga investigasi demi mendapatkan akurasi data terkait pelaporan tersebut.” Bebernya.

Aghung mengaku pernah menemukan pelaporan yang ternyata tidak benar. Sebab korban kekerasan tersebut hanya mengaku sebagai seorang jurnalis tapi riwayat kerjanya tidak pernah melakukan proses peliputan sebagai seorang jurnalis.