Aceh-Sumut Sengketa 4 Pulau, Pemprov Aceh: Pagar Wilayah Sudah Disepakati Sejak 1992


Pulau Panjang. Satu dari empat pulau yang disengketakan oleh Aceh dan Sumut Foto: ist via beritasatu.
Pulau Panjang. Satu dari empat pulau yang disengketakan oleh Aceh dan Sumut Foto: ist via beritasatu.

Pemerintah Aceh menegaskan bahwa empat pulau yang kini masuk dalam wilayah administratif Sumatera Utara (Sumut) merupakan bagian sah dari Provinsi Aceh. Klaim ini merujuk pada kesepakatan batas wilayah yang diteken Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut pada tahun 1992, serta disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini.


Empat pulau yang disengketakan yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Kecil (Ketek), dan Pulau Mangkir Besar (Gadang). 

Keempatnya secara geografis memang lebih dekat ke Kabupaten Tapanuli Tengah, namun menurut Pemerintah Aceh hal itu tidak dapat dijadikan dasar untuk mengabaikan kesepakatan batas wilayah laut yang pernah dibuat.

“Harusnya yang ditetapkan lebih dulu adalah garis batas laut karena sudah ada kesepakatan dua gubernur pada tahun 1992 yang sampai saat ini belum pernah dicabut atau diubah,” kata Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir, dikutip dari RMOLAceh, Sabtu (14/6/2025).

Pernyataan ini disampaikan Syakir menanggapi pernyataan Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal ZA, yang sehari sebelumnya menyatakan bahwa batas wilayah darat menjadi acuan sementara dalam menetapkan kepemilikan empat pulau karena batas laut antara Aceh dan Sumut belum pernah disepakati.

Syakir mengingatkan bahwa Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang penegasan batas daerah mengatur bahwa dokumen kesepakatan antarpemerintah daerah yang berbatasan dapat dijadikan dasar dalam penetapan batas wilayah.

“Perintah regulasi itu sudah jauh hari dilakukan Aceh dan Sumut berdasarkan kesepakatan bersama tahun 2002 antara Tim Penegasan Batas Daerah Aceh dan Sumut,” ujarnya.

Dalam surat Gubernur Aceh tertanggal 4 Juli 2022, disebutkan bahwa penegasan batas daerah antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah yang ditetapkan dalam Permendagri Nomor 30 Tahun 2020 hanya mencakup batas darat. Penegasan batas laut, termasuk soal kepemilikan pulau, dilakukan secara terpisah.

Syakir juga memaparkan kronologi pembakuan nama rupabumi pada tahun 2008 yang dilakukan secara terpisah oleh Sumut dan Aceh. Saat Sumut melakukan pembakuan nama pada Mei 2008, empat pulau dimasukkan dalam daftar wilayah mereka. Ketika giliran Aceh pada November 2008, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi menolak permintaan Pemerintah Aceh untuk memasukkan empat pulau tersebut, dengan alasan telah lebih dulu dicatat oleh Sumut dan dalam status sengketa.

Pemerintah Aceh, kata Syakir, telah menyampaikan keberatan atas kekeliruan tersebut kepada Mendagri melalui surat resmi pada 2018 dan meminta revisi terhadap koordinat pulau-pulau itu. Ia juga menyebut bahwa rapat kementerian/lembaga yang dijadikan rujukan oleh Kemendagri dalam menetapkan status empat pulau tersebut tidak melibatkan Aceh.

“Kalau mau analogi, harusnya ditetapkan dulu pagarnya, baru rumahnya. Ini malah rumahnya ditetapkan dulu, padahal pagar dan halamannya sudah disepakati sebagai milik Aceh sejak 1992,” ujar Syakir memberi perumpamaan.

Pemerintah Aceh berharap proses penyelesaian dilakukan secara adil, transparan, dan menghormati perjanjian serta dokumen resmi yang sudah ada. Menurut Syakir, keterlibatan semua pihak sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik dan menjaga harmoni antara dua provinsi bertetangga tersebut.