Tongkang Batu Bara Tabrak Pelabuhan dan Dermaga di Sungai Musi Dapat Kecaman Masyarakat Palembang

Kondisi pelabuhan 7 Ulu di Sungai Musi Palembang yang rusak parah usai ditabrak tongkang pengangkut batu bara, Selasa (2/1). (Kolase RMOLSumsel.id/Handout)
Kondisi pelabuhan 7 Ulu di Sungai Musi Palembang yang rusak parah usai ditabrak tongkang pengangkut batu bara, Selasa (2/1). (Kolase RMOLSumsel.id/Handout)

Tokoh Masyarakat Palembang Arifin Kalender angkat bicara terkait tongkang batu bara yang menabrak dermaga pelabuhan di kawasan 7 Ulu hingga mengalami kerusakan berat.


Arifin meminta Penjabat (Pj) Gubernur Sumsel Agus Fatoni, Pj Walikota Palembang Ratu Dewa dan Kapolda Sumsel Irjen Pol Rachmad Wibowo bertanggung jawab. Sebab menurut Arifin, dalam hitungan menit ada tiga sampai lima tongkang batubara yang melintas. 

Jarak iring-iringan mereka pun cukup dekat, sehingga acapkali membahayakan transportasi lain di perairan Sungai Musi Palembang. 

“Kasihan nelayan, mancing jadi tidak ada lagi. Ketek yang menyebrang bolak-balik menjadi susah. Sekarang seperti mereka yang menguasai Sungai Musi,” ujarnya saat dibincangi Selasa (2/1).

Arifin mengungkapkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan aksi menolak angkutan batu bara melintas di perairan Sungai Musi Palembang ini. 

“Sudah sering aksi, pakai ketek dan pakai perahu. Demo aksi minta stop angkutan batubara, karena kita lihat dalam sehari lebih dari 20 sampai 30 tongkang batubara yang lewat, jadi rentan kecelakaan. Terutama di Jembatan Musi VI, Musi IV dan Jembatan Ampera, itu yang kita takuti kalau tertabrak,” ungkap Arifin.

Oleh sebab itu pihaknya berencana kembali menggelar aksi, agar pihak terkait bisa duduk bersama membahas aktivitas angkutan batubara di Sungai Musi. Sehingga aset Sumsel dan kota Palembang, utamanya nyawa masyarakat bisa dilindungi.

"Perusahaan batubara ini sewa jasa angkutan tongkang, di sinilah permainan mereka. Jadi mereka itu lepas tanggung jawab, baik Pelindo, KSOP, jadi yang bertanggung jawab vendor. Kita tidak tahu mana yg vendor, tidak terdata, batubara ini punya siapa. Siapa yg mengangkut sewa semua,” ungkapnya. 

Lemahnya Pengawasan Pihak Berwenang

Terpisah, Anggota DPRD Sumatera Selatan (Sumsel) Dapil Kota Palembang Mgs Syaiful Padli menyesalkan terjadinya peristiwa yang berulang. Dia mendorong sanksi tegas bagi perusahaan pemilik kapal tongkang yang abai sehingga terjadinya peristiwa ini.

"(Kejadian) ini kalau sekali dua kali, mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi (Karya Pacific) ini lah (sudah) berturut-turut dan tidak diberikan sanksi, jadi perusahaan ini menganggap sebagai kecelakaan biasa," sesal Padli. 

Selain sanksi, menurutnya Pemkot Palembang dan DPRD Kota Palembang juga perlu untuk lebih menegaskan aturan mengenai lalu lintas kapal tongkang yang melintas di bawah Jembatan Ampera. 

Tak lebih karena Jembatan Ampera ini merupakan aset milik daerah yang harus dijaga kelestariannya. "Jadi, upaya pemerintah daerah untuk menjaga aset daerah ini perlu di pertanyakan," tegasnya.

Bukan hanya mengenai regulasi yang tidak diterapkan, Padli menduga pengawasan juga minim dilakukan sehingga insiden yang berkaitan dengan tongkang pengangkut batu bara ini kerap terjadi di perairan Sungai Musi. 

"Tidak mungkin kalau ASDP, Kemenhub, tutup mata dan sementara kita yang punya wilayah (Pemkot Palembang) tidak dilibatkan. Jadi perlu diberikan sanksi yang tegas (termasuk untuk petugas) sehingga kejadian ini tidak berulang lagi dan tidak dianggap remeh," kata dia. 

Lemahnya pengawasan ini merujuk pada Perda Kota Palembang No.14 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Transportasi. 

Disebutkan pada bagian kedua mengenai Sarana dan Manajemen Lalu Lintas Sungai, Danau dan Penyeberangan, Paragraf 8 mengenai Lalu Lintas Kapal di Bawah Jembatan Ampera pada pasal 106 bahwa setiap kapal/tongkang yang melintas di bawah Jembatan Ampera harus memenuhi sejumlah ketentuan sebagai berikut: 

a. Ketinggian tongkang tidak melebihi 8 (delapan) meter; b. Bagian atas muatan harus rata atau tidak kerucut; c. Wajib dipandu oleh Petugas Otoritas Pelabuhan dan/atau Unit Penyelenggara Pelabuhan serta pengamanan dan pengawasan lalu lintas di sekitar Jembatan Ampera oleh Petugas Dinas Perhubungan; d. Berlayar pada siang hari; dan e. Tongkang yang diperkenankan melintasi bawah Jembatan Ampera maksimal length overall (loa) 300 feet dengan leher maksimal 28 meter dan ditarik oleh kapal tunda minimal 1765 KW serta Tug Boat 1761 KW yang memenuhi persyaratan kelaikan laut.

Untuk poin c dalam belaid tersebut, diperkuat lagi setelah dikeluarkannya Perwako No.79 tahun 2016 tentang Wajib Penundaan/Pandu bagi Kapal/Tongkang yang Melintasi di Bawah Jembatan Ampera. 

Sehingga apa yang dimaksud Padli ini juga mendapat dukungan dari Anggota tim ahli cagar budaya (TACB) kota Palembang Kemas Ari Panji. Selama ini, Jembatan Ampera sebagai aset yang sedang didaftarkan sebagai cagar budaya ini kerap jadi korban angkutan batu bara. 

"Untuk Jembatan Ampera sampai sekarang dalam proses diajukan penetapan cagar budayanya. Artinya kawasan sekitarnya juga harus diperhatikan, dilindungi. Kalu sering ditumbur kagek rubuh (kalau sering ditabrak dikhawatirkan akan ambruk)," cetus akademisi ini. 

Di lain tempat, Pj Wali Kota Palembang Ratu Dewa diketahui langsung meninjau lokasi insiden Selasa siang. Untuk penanganan, Ratu Dewa berkoordinasi dengan Satpolairud Polrestabes Palembang terkait kerusakan dermaga Kampung Kapitan, KSOP terkait izin olah gerak kapal untuk dilakukan penundaan berlayar, dan Balai Pengelola Transportasi Darat Kelas II Sumatera Selatan terkait kerusakan Pelabuhan Sungai 7 Ulu. (tim)