Direktur Universitas Terbuka (UT) Palembang, Dr. Meita Istianda, S.I.P, M.Si, memberikan pandangannya terkait polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang memicu keresahan di kalangan masyarakat.
- Universitas Terbuka Semakin jadi Pilihan Masyarakat, Tembus Setengah Juta Mahasiswa
- Lonjakan Mahasiswa Meningkat, Universitas Terbuka Palembang Makin Diminati
- Bekali Mahasiswa Kuliah Online, Universitas Terbuka Palembang Jalani Road Show ke Daerah
Baca Juga
Dalam sebuah sesi podcast di Ruang Redaksi RMOL Sumsel beberapa waktu lalu, Dr Meita memaparkan beberapa solusi untuk mengatasi kenaikan UKT. Salah satu solusi yang dapat diandalkan adalah program pemerintah seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.
"Pemerintah sudah punya KIP Kuliah dan itu bisa menjadi solusi untuk mengatasi kenaikan UKT ini," ujarnya.
Namun, ia juga mengakui bahwa implementasi KIP Kuliah masih menghadapi kendala, terutama dalam hal penyaluran yang tepat sasaran.
"Pertanyaannya, apakah KIP Kuliah itu sudah tepat sasaran? Kalau tidak, berarti ada masalah dalam pengawasan," tambahnya.
Selain itu dia juga menekankan pentingnya program beasiswa dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. Beasiswa CSR dapat menjadi solusi tambahan dalam mengatasi kenaikan UKT, asalkan dilaksanakan secara masif dan tepat sasaran.
"Perusahaan besar seharusnya lebih banyak memberikan beasiswa CSR kepada masyarakat yang kurang mampu," jelasnya.
Kendati demikian dirinya tidak menampik jika pendidikan tinggi yang disebut pendidikan tersier bersifat lebih terbatas dibandingkan pendidikan menengah kebawah.
"Untuk pendidikan dasar dan menengah, negara sudah mengintervensi secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945. Berbeda dengan pendidikan tinggi, ukannya negara tidak ingin bertanggung jawab, tetapi pendidikan tinggi itu sifatnya tersier," paparnya.
Menyoroti beberapa kendala yang dihadapi dalam akses pendidikan tinggi di Indonesia. Dia mengatakan, sebenarnya pemerintah sudah memiliki strategi untuk memberikan akses pendidikan tinggi sejak 1984 dengan mendirikan Universitas Terbuka (UT) melalui keputusan presiden (kepres) pada saat itu.
"Bukan berarti karena saya di UT lalu memihak ya. Tapi UT itu ada karena adanya keputusan presiden. Artinya akses pendidikan tinggi bagi masyarakat sudah dilakukan oleh pemerintah," jelasnya.
Hanya saja, menurut Meita masyarakat kurang pemahaman tentang status UT sebagai perguruan tinggi negeri. Hal itu lantaran kurangnya komunikasi dan informasi dari elit pemerintah di daerah. "Problemnya, masyarakat memang kurang tahu bahwa UT itu perguruan negeri, banyak mereka yang tidak tahu itu," katanya.
Selain itu, dia juga menyoroti masalah budaya dan mindset masyarakat yang masih menganggap bahwa kuliah harus dilakukan secara tatap muka. Meita menegaskan bahwa secara konsep, UT sudah sangat siap untuk perkuliahan online dan mampu memberikan pilihan pendidikan yang fleksibel dengan output yang sangat baik.
"Budaya dan mindset masyarakat kita masih menganggap bahwa kuliah itu harus tatap muka. Jadi belum nyambung, padahal zaman sekarang kuliah bisa dilakukan di mana saja," pungkasnya.
- Prabowo Bakal Luncurkan Program Govtech, Potensi Hemat Anggaran Rp100 Triliun
- Revisi UU TNI dan UU Kejaksaan Ancam Supremasi Sipil
- Prabowo Ingin Tiket Pesawat Murah, Bos Susi Air Kasih Syarat Ini