Skema ‘Power Wheeling’ Kembali Dibahas, Nasib PLN di Ujung Tanduk

Ilustrasi PLN. (ist/net)
Ilustrasi PLN. (ist/net)

Skema ‘Power Wheeling’ akan kembali dibahas oleh Kementerian ESDM bersama DPR RI yang dijadwalkan berlangsung pada pekan depan. Dengan dibahasnya skema tersebut, nasib PLN sebagai perusahaan tunggal listrik negara pun berada di ujung tanduk.


Untuk diketahui, ‘Power Wheeling’ adalah pemanfaatan bersama jaringan transmisi listrik PLN oleh swasta. Sehingga, PLN tidak lagi sebagai penyuplai listrik tunggal di negara ini.

Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto mengatakan, bila ‘Power Wheeling’ ini disetujui maka pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP) diperbolehkan membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung terhadap masyarakat melalui jaringan transmisi PLN.

Sehingga, PLN tidak menjadi single multiple buyer karena pembangkit swasta langsung menjual listrik ke konsumen.

“Power wheeling ini akan mengurangi tingkat penguasaan negara (dalam hal ini diwakili oleh PLN) terhadap sistem ketenagalistrikan nasional. PLN tidak mempunyai kendali atas listrik yang melewati jaringannya,” ujar Rofik, Sabtu (25/11).

Rofik menegaskan, dari sisi konstitusi, ‘Power Wheeling’ melanggar aturan UUD RI tahun 1945 Pasal 33 Ayat 2 yang berbunyi, Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Padahal, pada awal 2023 pemerintah juga telah bersepakat untuk tidak memasukkan ‘Power Wheeling’ dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang diserahkan ke DPR untuk dibahas.

“Praktik power wheeling ini sangat berpotensi mengurangi kontrol PLN terhadap sistem ketenagalistrikan nasional,” ungkap Rofik.

Selain itu, PLN pun dinilai dapat dirugikan karena sistem ketenagalistrikan nasional sedang mengalami over supply.

Lewat ketentuan take or pay maka PLN harus menanggung biaya produksi listrik yang dihasilkan oleh independent power producer (pembangkit listrik non-PLN). Saat ini IPP yang untung karena tetap dibayar sementara PLN mengalami kerugian,dengan adanya power wheeling potensi oversupply akan bertambah di masa yang akan datang dan PLN yang akan tetap tidak mampu mengurangi tingkat over supply tersebut.

Selain itu juga terdapat potensi jaringan PLN mengalami kelebihan beban dengan bertambahnya pasokan listrik karena power wheeling ini. Sementara investasi jaringan transmisi dan distribusi harus tetap berjalan, baik pembangunan baru atau penguatan jaringan yang sudah ada sebelumnya, agar ketahanan sistem ketenagalistrikan tetap dapat ditingkatkan.

“Power wheeling akan menyebabkan beban PLN makin berat dalam memelihara dan meningkatkan jaringan transmisi dan distribusinya. Hal ini diperparah dengan kondisi laporan keuangan tahun 2022 PLN yang masih terlilit utang sebesar Rp400-an triliun,” terang Rofik.

Skema ‘Power Wheeling’ menurut Rofik hanya menguntungkan dua pihak yakni pihak pembangkit dan pembeli listrik. Sementara, PLN serta keuangan negara dan masyarakat akan sangat dirugikan.

Menurut Rofik, untuk meningkatkan bauran energi terbarukan tidak harus dengan power wheeling yang bertentangan dengan konstitusi, perundangan dan hajat hidup orang banyak.

PLN dapat memenuhi target peningkatan energi baru ini dengan merealisasikan target-target yang ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). 


“Dalam RUPTL PLN 2021-2030 telah jelas bahwa target kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) adalah sebesar 51,6% atau 20,923 MW pada 2030. Ini artinya kalau PLN disiplin dalam menjalankan amanat RUPTL ini maka Indonesia bisa melakukan transisi energi dengan baik tanpa melanggar konstitusi dan merugikan hajat hidup Masyarakat,”ungkapnya.