RTH dan Kolam Retensi Minim, Walhi Sumsel: Wajar Kalau Palembang Sering Banjir

Banjir di salah satu ruas jalan Kota Palembang. (humaidi kenny/rmolsumsel.id)
Banjir di salah satu ruas jalan Kota Palembang. (humaidi kenny/rmolsumsel.id)

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumsel mencatat, Kota Palembang hanya memiliki 3.801 hektare ruang terbuka hijau (RTH) dan 32 kolam retensi. Jumlah tersebut tidak dalam posisi ideal.


Sebab, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang mengatur setiap kota dan kabupaten di Indonesia wajib memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30 persen dari luas kota.

Nah, dengan luas Kota Palembang yang mencapai 400,2 kilometer persegi, Kota Palembang seharusnya memiliki luas RTH seluas 12.081 hektare dan jumlah kolam retensi sebanyak 77 unit.

“Wajar kalau Palembang sering banjir. Karena jumlah RTH dan kolam retensinya tidak sebanding dengan luas wilayah,” ujar Pengkampanye Pertambangan, Karts dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Febrian Putra Sopah saat dibincangi, Senin (10/4).

Keberadaan RTH dan kolam retensi penting sebagai kawasan resapan air. Pembangunan kawasan pemukiman yang ada di Kota Palembang juga tidak disertai dengan RTH dan kolam retensi yang memadai.

“Akhirnya, efek dari ini adalah banjir dan korban dari banjir ini adalah rumah-rumah yang struktur tanahnya rendah. Salah satunya di Hulubalang, setelah sering mengalami banjir, yang terjadi adalah timbun-menimbun tanah,” ujarnya.

Febri juga mengatakan, pihak Walhi juga terus mengupayakan dan mendorong agar pemerintah memperluas RTH dan menghentikan pembangunan yang tidak penting. Ia menyarankan agar pemerintah fokus untuk membangun kolam retensi di kawasan rawan banjir serta RTH yang lebih banyak lagi. Walhi sendiri menamai banjir sebagai bencana ekologis, karena memang bukan murni dari alam.

“Tetapi memang ada tata kelola ruang yang salah sehingga ini dikategorikan sebagai bencana ekologis. Jika pemerintah serius dalam menyikapi hal ini, maka semestinya memang harus memperluas RTH dan menambah kolam retensi,” terangnya.

Sebenarnya, ada solusi yang bisa diterapkan. Salah satunya adalah membuat biopori atau resapan air.  Febrian menjelaskan, biopori ini sangat berguna untuk tempat resapan air secara mandiri di rumah.

“Idealnya, setiap rumah menyisihkan 30 persen tanahnya untuk tempat resapan air atau biopori. Selain berguna untuk dijadikan tempat resapan, biopori ini juga berfungsi sebagai pengompos di waktu kemarau tiba. Namun ini bukanlah solusi utama menangani banjir,” jelasnya.

Menurut Febrian, langkah utama mengatasi banjir yang ada di Palembang adalah membenahi dan menambah kolam retensi serta memperluas RTH di Palembang. Biopori hanya sebagai antisipasi mandiri setiap rumah bukan sebagai solusi utama dalam mengatasi banjir.

“Sebenarnya yang berperan penting adalah pemerintah. Sehingga, pemerintah semestinya juga memperluas dan menambah RTH. Sehingga, banjir di Kota Palembang ini bisa teratasi dengan baik. Karena yang kita lihat, Palembang adalah salah satu kota yang sering banjir, yang menyebabkan kita bertanya, dimana peran pemerintah disini atas kelola tata kota,” pungkasnya.