Remaja Jadi Pembunuh Sadis Bisa Dipicu Otak yang Dipengaruhi Tontonan-Bacaan

Banyak orang bergidik mendengar kesadisan gadis berusia 15, yang menghabisi bocah berusia 15 tahun dengan cara sangat kejam. Terlebih lagi, si bocah anak pembantunya sekaligus teman main adiknya.


Untuk gadis belia seusia N, pembunuhan yang dia lakukan itu tak hanya sadis tapi juga brutal. Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menilai, aparat kepolisian perlu melakukan pendalaman kejiwaan pelaku.

"Kalau bicara tentang kondisi psikologis pelaku, tentu kepolisian harus melakukan penyelidikan tentang itu,” ujar Reza dalam tayangan televisi talkshow Kompas, Minggu (8/3).

“Apa yang bisa kita pahami tentang anak-anak yang sedemikian belia melakukan tindakan yang brutal, seolah tidak cukup bagi yang bersangkutan untuk mencabut nyawa manusia, tapi harus disertai dengan penganiayaan sedemikian rupa,” lanjutnya.

Menurut Reza, tidak bisa masyarakat mengatakan hal ini hanya terkait dengan satu faktor saja. Pasti ada faktor yang majemuk. Faktor dalam yaitu disposisi, dan faktor lingkungan yaitu faktor situasi.

Sejak tahun 60-an sudah ada riset tentang apa yang kita tonton, apa yang kita baca, apa yang kita dengar, bisa mempengaruhi pembentukan perilaku kita. Dengan kata lain, perilaku manusia kemungkinan hasil dari proses peniruan teori belajar sosial, yaitu faktor situasi faktor disposisi.

“Ketika diketahui ada seorang pelaku kejahatan yang amat sangat brutal, amat sangat dingin sekali, boleh jadi ada kemungkinan bahwa ini tidak semata-mata masalah perilaku, tapi ada masalah otak yang seolah-olah dari sononya memang sudah berbeda dengan kebanyakan orang,” terang Kepala Bidang Pemantauan dan Kajian Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) ini.

Faktor disposisi, faktor genetik, fungsi kerja otak, susunan otak sedemikian rupa, ternyata amat dominan mempengaruhi perilaku manusia. Ia juga melihat, ada empat kondisi yang mewarnai tindakan sadis pelajar SMP tersebut, yakni impulsivity, aggression, manipulativeness dan defiant. Empat kondisi tersebut menjadi tantangan bagi penyidik untuk mengungkap apakah jawaban pelaku adalah benar-benar nyata atau fabrikasi belaka.

Reza juga menyoroti inisiatif pelaku yang datang sendiri menyerahkan diri ke polisi. Menurutnya, itu perlu ditelisik apakah tindakannya tersebut karena dilandasi penyesalan atau dia sedang mengikuti aturan agar nantinya bisa dia manfaatkan.

Dia mengatakan, studi kekinian di bidang psikologi dan neuroscience justru memandang, anak dengan tabiat callous unemotional (sebutan yang lebih lazim bagi anak-anak berkepribadian psikopat) tidak layak dihukum seperti para pelaku dewasa yang melakukan pembunuhan 'biasa'.

Program rehabilitasi psikis dan sosial pun, tegas dia, belum ada yang benar-benar memberikan faedah positif untuk kasus seperti dilakukan remaja tersebut.

Sebelumnya, Kantor Berita Politik RMOL telah menuliskan kasus pembunuhan yang dilakukan remaja N yang melakukan pembunuhan secara sadis. Korban ditenggelamkan di bak mandi berkali-kali dengan mulut dicolok, lalu mayatnya dibungkus kain dan disimpan di dalam lemari.

N adalah siswi yang pandai di sekolahnya. Dia pernah kedapatan menyiksa binatang dan sering membuat sketsa gambar-gambar yang mengerikan di buku tulisnya. Dari sekian sketsa yang mengerikan, N juga sering membuat tokoh Slenderman. Slenderman adalah karakter fiksi yang berasal dari meme internet.

Selenderman atau Slender Man dikenal sebagai sosok yang suka menculik atau melukai orang, terutama anak-anak. N membuat pengakuan kepada polisi bahwa dia telah membunuh bocah 5 tahun. Di depan polisi N mengaku tidak menyesal dan malah merasa puas. Kasus ini banyak disoroti sebagai kasus psikopat.