Sejumlah tokoh dari berbagai kalangan di Sumatera Selatan, termasuk pengacara, ulama, aktivis, akademisi, dan masyarakat umum, yang berada di bawah payung Aliansi Warga Sipil Pro Demokrasi (Awas Prodem) Sumsel, menggelar deklarasi Manifesto Menyelamatkan Negara Hukum yang Demokratis.
- Ganjar Tunggu Hasil KPU Soal Pilpres
- 2.000 Pempek Ludes Disantap Peserta Kompetisi Joget Gemoy di Palembang
- Demokrat OKU Timur Siap Menjadi Kuda Hitam di Setiap Dapil
Baca Juga
Acara tersebut digelar di Cafe Roca, Jalan Demang Lebar Daun, Palembang, pada Jumat (9/2/2024).
"Manifesto tersebut berisi tujuh sikap Awas Prodem Sumsel," ungkap juru bicara Awas Prodem Sumsel, Tarech Rasyid, dalam pernyataannya.
Dia menambahkan, gerakan tersebut muncul sebagai respons terhadap kegelisahan di kalangan guru besar dan civitas akademika di Indonesia. "Gerakan ini didasarkan pada kajian luas dan bukan sekadar keresahan semata," ungkapnya.
Dalam acara tersebut, hadir tokoh-tokoh seperti pengacara Darmadi Jufri, Idasril Firdaus Tanjung, aktivis Sumsel Lagan, Febuar Rahman, budayawan Erwan Suryanegara, ulama Ustad Umar Said, dan akademisi Tarech Rasyid.
Salah satu poin manifesto yang dibacakan adalah menolak segala bentuk penyelenggara negara yang mengingkari etika, moral, serta nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945.
"Jika rezim tidak mendengarkan manifesto ini, gerakan ini akan terus berlanjut," tambah Ulama Ustad Umar Said.
Manifesto Menyelamatkan Negara Hukum yang Demokratis tersebut berisi 7 sikap Awas Prodem Sumsel:
Pertama : Menolak semua para penyelenggara negara yang mengingkari etika, moral, nilai- nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,karena dapat merusak tatanan negara dan mencederai demokrasi sehingga terjadi pelemahan Negara hukum yang demokratis.
Kedua : Mendesak Presiden Joko Widodo untuk menegakkan kewibawaan dan martabat Presiden sebagai negarawan, sehingga presiden sebagai penyelenggara negara mampu mewujudkan cita-cita reformasi dan cita-cita para pendiri bangsa untuk membangun negara hukum yang demokrastis.
Ketiga : Menuntut Presiden Joko Widodo untuk menghentikan segala bentuk politisasi hukum dan politisasi bantuan sosial yang sarat dengan kepentingan politik elektroral serta berpotensi menciderai hukum dan demokrasi.
Keempat : Menuntut lembaga penyelenggara Pemilu,KPU/KPUD, Bawaslu, DKPP untuk bekerja profesional, tranparan, dan bersikap netral untuk menjaga demokrasi dengan mengedepankan azas LUBER (Langsung,Umum, Bebas, dan Rahasia) dan JURDIL (Jujur dan Adil) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kelima : Menuntut TNI, Polri,Menteri,Pj Gubernur,Pj Bupati,Pj Walikota,Aparat Sipil Negara (ASN), dan Kepala Desa diseluruh Indonesia, agar bersilkap netral dan tidak cawe-cawe dalam Pemilu 2024 sebagai upaya membangun negara hukum yang demokratis.
Keenam : Menuntut para penyelengara negara untuk menghentikan segala tidakan intimidasi dan mengintervensi para Rektor dan Sivitas Akademika atau universitas/kampus yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi, hukum dan kebebasan akademik.
Ketujuh : Menghimbau masyarakat Indonesia untuk terlibat dan mengawal penyelenggaraan Pemilu agar tidak terjadi kecurangan dan memastikan bahwa Pemilu 2024 dapat menghasilkan pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat yang berbasis suara rakyat.
- Laporan Dugaan Pelanggaran Asusila dan Etik Ketua KPU Masih Diproses DKPP
- Komisioner KPU Palembang Terpilih Jadi Anggota Bawaslu, Begini Sikap KPU Sumsel
- Lolos Tak Sesuai Tempat Mendaftar, Perekrutan Panwascam di Palembang Terindikasi Kecurangan