Hutan Harapan, yang terletak di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, menyimpan kekayaan tak hanya berupa keanekaragaman hayati tetapi juga jejak kehidupan Suku Anak Dalam (SAD) dari komunitas Suku Batin Sembilan.
- Suku Anak Dalam Temukan Tabung Peninggalan Belanda, Gegara Takut Meledak Akhirnya Diserahkan ke Polisi
- Polres Muratara Berikan Bantuan Sembako Untuk Suku Anak Dalam
- Pemasok Sabu ke Suku Anak Dalam di Muratara Tertangkap
Baca Juga
Komunitas ini menjadi bagian dari suku Anak Dalam yang hidup di hutan dataran rendah Jambi dan Sumatera Selatan, salah satunya di Hutan Harapan.
Pada umumnya komunitas adat ini masih banyak hidup secara nomaden (berpindah-pindah) dan bergantung pada alam. Di tengah tekanan modernisasi dan ancaman eksploitasi hutan, Suku Anak Dalam tetap berjuang mempertahankan tradisi dan identitas mereka. Mereka menjadikan Hutan Harapan sebagai tempat tinggal sekaligus sumber penghidupan.
Gambaran itu terlihat jelas dalam keluarga Mat Atam yang ditemui dalam kawasan Hutan Harapan, di Sako Suban, Kecamatan Batang Hari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin. Dia mengatakan, berburu, meramu hasil hutan, serta berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain adalah bagian dari pola hidup mereka yang sejak turun temurun.
"Dari lahir kami sudah tinggal di hutan, jadi kalau berpindah sudah kebiasaan kami," ungkapnya saat dibincangi RMOL Sumsel beberapa waktu lalu.
Bagi Mat Atam, hutan bukan hanya ruang fisik namun juga ruang spiritual yang menjaga keseimbangan hidup mereka. Selama masih ada hutan, dia mengatakan akan tetap menjaga tradisi yang selama ini dilakoni.
"Selama masih ada hutan kami akan tetap tinggal di dalam, jangan saja hutan habis bisa mati kami, sekarang saja tambah susah karena hasil buruan yang makin tak menentu," keluh Mat Atam.
Masuknya PT REKI (Restorasi Ekosisitem Indonesia) di Hutan Harapan, membuat kehidupan SAD semakin berwarna. Mereka bisa mendapatkan beras, gula, teh, mi, rokok, pakaian dan lainnya, dengan sistem barter dari hasil perburuan mereka, mulai dari getah jernang, getah damar, kabau (jengkol hitam) dan lainnya. Kelestarian Hutan Harapan seolah menjadi nyawa bagi keberlangsungan.
"Kalau ada orang masuk (hutan) kami dikasih makanan dan lain-lain yang ditukar dengan hasil buruan. Kadang damar dan jernang orang beli dari kami atau tukar dengan bahan makanan lain yang macam-macam. Intinyo kito jago hutan ini besamo, jangan bae hutan habis biso mati," jelas Mat Atam.
Bertahan di Tengah Ancaman Jalan Tambang
Kehidupan SAD memang tidak lepas dari tantangan, salah satu acanaman yang sangat nyata terjadinya alih fungsi hutan. Ancaman itu datang setelah pemerintah memberikan izin jalan tambang (hauling) bagi sejumlah perusahaan batu bara yang membelah kawasan hutan restorasi.
Perintisan jalan angkut tambang batu bara oleh PT Marga Bara Jaya (MBJ), anak perusahaan Geo Energy Resources Limited, mulai menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan. Jalan yang dirancang membelah kawasan inti Hutan Harapan ini telah dirintis sepanjang 21 kilometer dari total rencana 35 kilometer.
Meskipun jalan tersebut masih berupa rintisan dengan lebar antara 5 hingga 10 meter, tanda-tanda kerusakan lingkungan sudah terlihat jelas. Pohon-pohon berdiameter hingga 60 cm ditebang, aktivitas illegal logging marak, dan lahan di kawasan hutan mulai diklaim oleh berbagai pihak. Selain itu, terjadi perambahan liar yang semakin mengancam kelestarian kawasan hutan.
Kepala Divisi Perlindungan Hutan PT REKI, Sutoyo membenarkan jika kawasan Hutan Harapan mulai mendapat ancaman serius, hal itu terasa setelah akses jalan tambang mulai dirintis. Pihaknya khawatir kedepan jika jalan tambang terealisasi akan semakin megancam ekosistem hutan.
"Aktivitas illegal logging semakin marak. Selain itu, banyak pihak yang mengklaim lahan hutan setelahg setelah akses jalan (tambang) mulai dibuka," ujar Sutoyo saat dibincangi di lokasi.
Dia menambahkan bahwa keberadaan SAD di kawasan hutan sangat membantu dalam pengawasan, namun pembukaan jalan tambang membuat pengawasan semakin sulit dilakukan.
"Sebenarnya dengan keberadaan SAD di kawasan hutan ini sangat membantu kami dalam melakukan pengawasan. Kami selalu melakukan partroli dan mendirikan camp yang juga berdampingan dengan SAD. Tetapi tidak ada jaminan illegal logging dapat ditumpas," jelasnya.
Desak Pertanggungjawaban PT MBJ
Sementara itu, Koordinator Forum Masyarakat Penyelamat Hutan Alam Sumsel Jambi (FORMAPHSI) Adiosyafri mengatakan pihakya dengan tegas sudah menyatakan penolakan terhadap pembangunan jalan tambang (hauling) PT MBJ yang membelah Hutan Harapan.
"Sejak awal proses perizinan, kami telah memperingatkan akan potensi kerusakan ekosistem hutan alam daratan rendah akibat pembangunan hauling tersebut. Bahkan proyek tersebut diprediksi bakal menganggu atau menghilangkan rumah bagi penghidupan Suku Kubu atau Suku Anak Dalam yang masih ada di Hutan Harapan tersebut," katanya.
Lebih lanjut Adios menjelaskan, sejak penyusunan AMDAL dan UKL-UPL pada Maret dan Juli 2019, pihaknya sudah menyampaikan penolakan terhadap usulan perizinan jalan hauling PT. MBJ. Namun, pada 17 Oktober 2019, Kementerian LHK di bawah Menteri Situ Nurbaya tetap mengeluarkan IPPKH kepada PT. MBJ melalui SK Nomor: 816 Tahun 2019.
Meskipun izin telah dikeluarkan FORMAPHSI tetap teguh pada pendiriannya untuk menentang proyek ini. "Dampak kerusakan hutan sudah tidak bisa dihindari. Kami meminta PT. MBJ bertanggung jawab atas kerusakan yang telah dan akan terjadi, demi kelestarian hutan alam yang masih tersisa dan kesejahteraan masyarakat lokal," tegasnya.
Adios menegaskan akan terus melakukan perlawanan dan mengajukan tuntutan agar kerusakan lebih lanjut dapat dicegah, serta mengupayakan pemulihan terhadap ekosistem hutan yang telah rusak akibat pembangunan jalan tambang tersebut. "Intinya tetap menolak dan meminta pertanggungjawaban PT MBJ terhadap kerusakan yang telah terjadi tersebut," pungkasnya.
- Respons PLN Terkait Pelanggannya Tewas Ditembak Saat Hendak Bayar Tagihan Listrik di Muba
- Hasil Olah TKP Penembakan, Polisi Temukan Selongsong dan Proyektil Peluru di Kantor PLN Sekayu
- Tari Setabik dari Muba Masuk Daftar Warisan Budaya Tak Benda Indonesia