Pengembangan DME Sulit Terealisasi, PTBA Kehilangan Investor Utama, Adaro Beralih Garap Solar PV

ilustrasi (ist/rmolsumsel.id)
ilustrasi (ist/rmolsumsel.id)

Satu per satu, perusahaan yang ditunjuk pemerintah untuk proyek pengembangan gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) terus mendapat kendala dalam merealisasikan proyek tersebut. 


Setelah PT Bukit Asam (PTBA) kehilangan perusahaan rekanannya asal Amerika Serikat, Air Products and Chemicals Inc, kini giliran PT Adaro Power, anak usaha PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) yang menemui kendala dalam pengembangan energi terbarukan tersebut. 

Perusahaan belum lama ini mengaku mengalami kesulitan dalam hal pembiayaan dan viabilitas komersial untuk proyek DME tersebut.

Menurut Dharma Djojonegoro, Direktur Utama Adaro Power, pasar DME sebagai pengganti liquefied petroleum gas (LPG) relatif terbatas, dengan permintaan utamanya terkonsentrasi di Indonesia. Selain itu, harga LPG domestik diatur sepenuhnya oleh pemerintah. 

"Pasar ini cukup spesifik, sehingga sulit untuk meyakinkan mitra untuk berinvestasi dalam pabrik bernilai miliaran dolar jika harga LPG tidak sekompetitif pasar lain. Ada beban komersial yang perlu diatasi," katanya. 

Selain itu, Dharma menekankan bahwa pengembangan DME yang masih berbasis batu bara berdampak pada jejak karbon dan risiko yang terkait. Akibatnya, peluang untuk mendapatkan pembiayaan untuk proyek gasifikasi batu bara semakin berkurang.

Sebagai tanggapan, Adaro Power telah memutuskan untuk mengalihkan fokus investasinya ke pengembangan industri yang lebih ramah lingkungan melalui pendirian rantai pasokan solar photovoltaic (PV) di Indonesia. 

Dharma menjelaskan keputusan ini didorong oleh permintaan Singapura akan listrik terbarukan. Adaro Power bermaksud memenuhi permintaan ini sesuai dengan panduan pemerintah.

"Kami akan menyediakan listrik, meskipun harganya lebih tinggi daripada di Indonesia. Namun, produksinya akan dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu, kami perlu mendirikan rantai pasokan solar PV di negara ini," ungkapnya. 

Adaro Power saat ini sedang mencari investasi manufaktur asing untuk membangun rantai pasokan solar PV di Batam, Kepulauan Riau. Perusahaan ini memiliki potensi pengembangan solar PV dengan kapasitas lebih dari 1 GWp, serta sistem penyimpanan energi baterai (BESS) dengan kapasitas lebih dari 3 GWh.

Di sisi lain, PT Bukit Asam yang kehilangan rekanan utamanya dalam proyek pengembangan hilirisasi batubara bakal menjajaki potensi kerja sama dengan perusahaan lainnya. 

Pengembangan hilirisasi batubara bakal dilakukan di dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di atas lahan 164 hektar yang izinnya sudah keluar. Namun, izin khusus untuk pengembangan hilirisasi masih dalam proses.  

"Kawasan itu nanti akan digunakan khusus untuk pengembangan hilirisasi batubara," kata Direktur Utama PTBA Arsal Ismail , Kamis 9 Maret 2023. 

Nantinya, pengembangan produk hilir batubara bisa dilakukan secara leluasa. Tidak terpaku pada gasifikasi hingga metanol. "Hilirisasi batubara ini kan banyak. Produk turunannya beragam. Jadi semua akan dikembangkan dalam satu kawasan," ucapnya.

Dengan begitu, kata Arsal, investor yang masuk akan lebih beragam serta teknologi yang digunakan lebih fleksibel. 

Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebelas perusahaan tambang telah berkomitmen untuk pengolahan batu bara secara hilir. Enam dari perusahaan tersebut, termasuk PTBA, PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Kaltim Nusantara Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Indonesia, dan PT Berau Coal, berkomitmen untuk proyek gasifikasi batu bara dengan DME dan metanol sebagai produk akhir. 

Enam proyek ini diperkirakan membutuhkan pasokan batu bara sekitar 19,17 juta ton per tahun. Dengan beralih fokus ke rantai pasokan solar PV, Adaro Power bertujuan untuk berkontribusi pada pengembangan energi terbarukan dan memenuhi permintaan yang semakin meningkat akan alternatif yang lebih ramah lingkungan di Indonesia.