Insentif Hilirisasi Batu Bara Nol Persen Bakal Rugikan Negara Puluhan Triliun Tiap Tahun

Salah satu tambang batubara yang ada di Sumsel. (dok/rmolsumsel.id)
Salah satu tambang batubara yang ada di Sumsel. (dok/rmolsumsel.id)

Perpu UU Cipta Kerja yang dicanangkan pemerintah menyebabkan banyak pasal-pasal menonjol yang dianggap bermasalah.


Bagian dari kekhawatiran tentang dampak negatif terhadap ekonomi, ketahanan energi dan lingkungan adalah paragraf 5 pasal 128A yang mengatur tentang perubahan besaran royalti produksi pada produk hilir dari batubara menjadi 0%.

Untuk lebih memahami akibat dari pemberlakuan Perpu, CELIOS (Center of Economic and Law Studies) telah melakukan studi dan memperoleh berbagai temuan.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan, kajian CELIOS menyimpulkan salah satu poin terpenting Perpu Cipta Kerja di sektor energi dan lingkungan, yaitu kebijakan royaltinya terhadap hilirisasi 0% batu bara di Perpu Cipta Kerja.

Menurut perhitungan CELIOS, penerapan insentif ini bisa menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. Dengan asumsi total produksi batu bara 666,6 juta ton per tahun, estimasi kerugian royalti adalah Rp 33,8 triliun per tahun.

Jika kebijakan itu diterapkan dalam 20 tahun ke depan, diperkirakan negara akan mengalami kerugian hingga Rp 676,4 triliun. Potensi kerusakan tersebut setara dengan membangun 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit. Oleh karena itu, pelaksanaan Perpu Cipta Kerja harus digugurkan secara tegas.

Peneliti hukum CELIOS Muhammad Saleh mengatakan Perpu Cipta Kerja tidak memacu transisi energi Indonesia karena sejumlah alasan. Pertama, Perpu tidak memiliki fasilitas penelitian lingkungan.

Kedua, Perpu tidak menerapkan asas atau asas pembangunan berkelanjutan. Ketiga, komitmen G20 Bali terhadap transisi energi tidak tercermin dalam persepsi kebijakan legislatif.

“Akhirnya, Perpu melemahkan kebijakan transisi energi yang adil dalam RUU EBT yang sedang dibahas berupa insentif bagi perusahaan batubara untuk tetap beroperasi,” katanya.

Menurut Muhammad Saleh, selain Pasal 128 A tentang perubahan royalti 0% pada hilir batubara, masih banyak hal lain yang bermasalah, antara lain:

Pasal 2 dan 3 tidak mengadopsi asas atau asas pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya, Pasal 38 ayat (3) mengatur tentang pinjam pakai hutan untuk pengusahaan bahan galian yang tidak terkendali.

Selanjutnya, Pasal 25 Mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL; Pasal 24 Mengubah konsep AMDAL sebagai dasar penilaian, tidak ada pengambil keputusan Pasal 162 Standar keras bagi pengusaha tambang Pasal 110A dan Pasal 110B Penghapusan pelanggar izin pertambangan di kawasan hutan.

Selain itu, Bagian 18 menghapus setidaknya 30 persen tutupan hutan yang sesuai, dan Bagian 92, Bagian 35 dan Bagian 292A tidak memberikan insentif atau dasar bagi bisnis untuk melakukan transisi EBT.

Studi ini juga menunjukkan bahwa hilangnya royalti akibat kebijakan hilirisasi batubara akan berdampak pada peningkatan defisit anggaran pada tahun 2023.

Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan batas bawah defisit sebesar 3% atau 2,84% atau setara dengan Rp598,2 triliun. Target APBN 2023 bisa jadi tidak tercapai karena insentif Perpu Cipta Kerja untuk industri batu bara. Kerugian royalti yang diperkirakan akan diterima pemerintah dari industri batubara akan mencapai 5,7% dari total defisit anggaran pada tahun 2023.

Penghematan kerugian negara sebesar Rp 33,8 triliun dapat digunakan untuk membangun 15.281 sekolah dan 201 rumah sakit. Jika Anda menambahkan royalti yang hilang menjadi 20 tahun, uang yang seharusnya dikumpulkan oleh negara dapat digunakan untuk membangun 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit.

Perpu Cipta Kerja berdampak negatif pada pengalihan dana bagi hasil ke daerah penghasil sumber daya alam. Padahal, 80% royalti PNBP masuk ke daerah produksi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Sebagaimana dicatat, lebih dari 12 provinsi dan puluhan kabupaten masih bergantung pada batu bara Laut Merah untuk pendapatan di wilayah tersebut.

Kebijakan 0% royalti hilir batubara bertentangan dengan upaya memberikan kompensasi sumber daya alam yang adil kepada daerah. Selain itu, potensi hilangnya DBH di tengah kenaikan harga batu bara berdampak signifikan terhadap upaya pengentasan kemiskinan, pemberian insentif kepada usaha mikro, dan pengeluaran untuk memitigasi dampak kerusakan lingkungan di daerah produksi sumber daya alam.

Royalti nol persen kepada pelaku usaha sektor batubara yang melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara akan mendorong terjadinya hilirisasi komoditas batubara yang pada akhirnya akan memperpanjang kecanduan Indonesia kepada sumber energi fosil yang tidak ramah lingkungan. 

Klaim bahwa produk turunan batubara atau Dimethyl Ether (DME) mampu menggantikan impor LNG pun diragukan. Keekonomian DME jauh berada di bawah impor Liquefied Natural Gas (LNG). Hal ini menunjukkan adanya solusi palsu (false solution) dalam mendorong efisiensi energi di Indonesia. 

Hadirnya insentif royalti nol persen bagi hilirisasi batubara, membuat perbankan cenderung kembali melakukan penetrasi kredit ke sektor pertambangan batubara dalam jangka panjang. 

Per November 2022, penyaluran kredit investasi di sektor pertambangan tumbuh 74,2 persen, sementara kredit modal kerja ke sektor pertambangan naik 31 persen secara tahunan. 

Situasi ini akan menimbulkan risiko pengurangan porsi penyaluran kredit pada sektor yang justru dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi.