Pemerintah Dinilai Tunduk pada Pelanggar Lingkungan karena Berikan Proper Biru pada Bara Alam Utama

Ilustrasi: Aktivitas pertambangan yang berdampingan dengan Bukit Serelo, Lahat. (ist/rmolsumsel)
Ilustrasi: Aktivitas pertambangan yang berdampingan dengan Bukit Serelo, Lahat. (ist/rmolsumsel)

Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (LHP) Sumsel memanggil PT Bara Alam Utama (PT BAU) dan PT Sriwijaya Bara Priharum (PT SBP) terkait proper biru yang diterima ditengah sanksi pelanggaran lingkungan. 


Berdasarkan informasi yang didapat Kantor Berita RMOLSumsel, pemanggilan itu dilakukan untuk mendengar keterangan sejumlah pihak terkait dalam sebuah rapat pada tengah pekan kemarin. 

Mereka yang diundang, mulai dari Sekretariat Proper Nasional, Setditjen PPKL KLHK, Kabid Gakkum Perundang-undangan dan Peran Serta Masyarakat DLHP Sumsel, Kepala Dinas LH Muara Enim, Kepala DInas LH Lahat, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai VIII, Manajer PT BAU dan Manajer PT SBP.

"Hasil rapat itu akan menjadi rekomendasi yang kami sampaikan ke Kementerian," singkat Kepala Dinas LHP Sumsel Edward Chandra kepada Kantor Berita RMOLSumsel.

Sebagai laporan, hasil rekomendasi itu akan pula disampaikan kepada Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK dan Gubernur Herman Deru. 

Ilustrasi: Kondisi Sungai Penimur, kawasan ini diduga tercemar akibat aktivitas pertambangan PT Musi Prima Coal. (rmolsumsel)

Bukti Pemerintah Tunduk Pada Pelanggar Lingkungan

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumsel, Yuliusman saat dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel mengatakan kalau pemberian proper biru terhadap perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif (pertambangan batubara) ini merupakan hal yang tidak tepat.

Sebab menurutnya, ada banyak poin penilaian yang harus ditentukan sebelum sebuah perusahaan bisa disebut taat lingkungan. Sehingga proper yang diberikan ini disebutnya sebagai hal yang melukai perasaan masyarakat yang mungkin menjadi korban. 

Disisi lain, pemberian proper biru terhadap PT BAU dan PT SBP, ataupun mungkin perusahaan lain dalam kasus serupa seperti ini, sebagai upaya pemerintah mendukung pengrusakan atau kerusakan yang dilakukan oleh korporasi. 

"Selama ini perusahaan hanya sebatas memenuhi apa yang disyaratkan saja. Tidak berarti secara otomatis ketika mendapatkan proper biru, perusahaan sudah clean and clear dan tidak merusak lingkungan, karena yang dinilai hanya ketentuan kewajiban yang diatur,” jelas Yus, sapaan akrabnya.

Pemerintah baik itu Kementerian LHK atau Dinas LHP Sumsel sebagai turunannya, kata Yus, harus lebih selektif dalam memberikan penilaian. Harus terperinci dan melibatkan berbagai elemen masyarakat sehingga tidak serta-merta kemudian mengeluarkan penilaian secara umum. 

Sementara di sisi lain, kerusakan lingkungan dan kerugian yang dialami oleh masyarakat di sekitar perusahaan terus berlangsung. Apalagi, Walhi sendiri memiliki sederet catatan dalam aktivitas PT BAU di Kabupaten Lahat selama ini.

“Seperti PT BAU sendiri kan banyak persoalan yang berbenturan dengan masyarakat. Mulai dari konflik agraria dengan masyarakat. Lalu ada juga kasus rekayasa alam seperti sungai dibelokkan dan beragam kasus lain. Tapi, KLHK dalam hal ini masih tetap memberikan proper biru,” ucapnya.  

Kalaupun masih dipaksakan, tentu timbul pertanyaan apakah pemerintah tunduk pada korporasi pelanggar lingkungan ini? “Ini yang kita sayangkan. Apalagi masih ada kasus lingkungan masih dapat proper biru. ini yang harus kita tanyakan. Terlalu gegabah menurut kami merekomendasikan dua perusahaan (PT SBP dan PT BAU) mendapat predikat proper biru,” bebernya. 

Dia meminta masyarakat agar tidak terlena dengan berbagai program CSR yang diberikan perusahaan. Baik berupa bantuan sosial maupun fasilitas infrastruktur. Sebab, hal itu sifatnya hanya sementara. Persoalan utamanya yakni bagaimana perusahaan mengembalikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Bentang alam yang rusak, flora dan fauna yang punah serta sumber kehidupan masyarakat yang hilang akibat aktivitas perusahaan yang lebih penting untuk dipulihkan. 

“Aktivitas perusahaan ini kan ada jangka waktu. Setelah habis mengeruk, mereka akan meninggalkan wilayah operasinya. Nah, bekas aktivitas inilah yang harus dikembalikan seperti semula melalui upaya reklamasi. Paling tidak minimal 75 persennya saja jika tidak mampu seperti semula. Karena kedepannya, yang harus hidup berdampingan dengan lingkungan yang ditinggalkan itu tetap masyarakat," terangnya. 

Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Yuliusman. (ist/rmolsumsel)

Dirjen Minerba Juga Harus Bertanggung Jawab

Tidak hanya Kementerian LHK dan Dinas LHP Sumsel, Kementerian ESDM melalui Ditjen Minerba juga harus bertanggung jawab terhadap permasalahan lingkungan yang melibatkan PT BAU dan PT SBP, termasuk perusahaan lain yang melanggar lingkungan namun tetap mendapatkan proper biru. 

Dirjen Minerba seharusnya memasukkan penilaian dari berbagai sudut pandang sebelum memberikan izin. Seperti dalam kasus PT BAU yang di dalam rencana produksinya pada tahun 2022 ini terdapat perbedaan signifikan antara apa yang didapat oleh perusahaan dengan komitmen pengelolaan lingkungan. 

Secara terperinci, dalam RKAB yang disahkan pada 31 Desember 2021 itu, PT BAU diketahui memiliki rencana produksi sebesar 4,9 juta ton dengan harga acuan batubara yang diajukan sebesar USD72 per ton, sehingga perusahaan ditaksir mendapatkan sekitar Rp5,05 triliun (USD1=Rp14.200). 

Nilai itu sejatinya akan bertambah berkali lipat apabila dikalkulasikan dengan Harga Batubara Acuan (HBA) terbaru pada April 2022 sebesar USD288 per ton.  

Sementara di sisi lain, dalam rencana biaya pemantauan dan pengelolaan lingkungan, perusahaan hanya mengalokasikan sebesar USD 1,7 juta atau sekitar Rp24,5 Miliar. Sehingga bisa disimpulkan aspek lingkungan hanya mengambil bagian dari perusahaan PMA ini sebesar kurang dari satu persen, atau disebut Yus sangat tak layak. 

Yus bahkan mengatakan komposisi anggaran tersebut memperlihatkan ketidakseriusannya terhadap pengelolaan lingkungan yang herannya tetap disetujui oleh pemerintah. “Bisa dikatakan betul-betul rakus. Prinsipnya keruk habis dan kuras habis SDA,” ucapnya. 

Oleh sebab itu, Yus meminta pemerintah tegas terhadap kelanjutan polemik ini. Yaitu dengan mencabut predikat proper yang telah diberikan itu. “Pemerintah jangan hanya memfasilitasi saja. Harus ada ketegasan terhadap perusahaan yang telah melanggar. Cabut atau turunkan propernya,” tegasnya. 

Deputi dan Koordinator K-MAKI Sumsel, Feri Kurniawan dan Boni Belitong. (rmolsumsel)

Pemberian Proper Biru Terindikasi Maladministrasi dan Malprosedural

Sebelum ini, Komunitas Masyarakat Anti Korupsi (K-MAKI) Sumsel juga menyoroti pemberian proper biru terhadap PT BAU dan PT SBP. Dalam prosesnya, Deputi K-MAKI Feri Kurniawan yang dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel menduga terdapat manipulasi data dan penyalagunaan kewenangan.

Bahkan lebih jauh, ada dugaan gratifikasi dalam pemberian proper biru terhadap perusahaan pelanggar lingkungan ini. (Baca: https://www.rmolsumsel.id/soal-proper-biru-bagi-perusak-lingkungan-k-maki-manipulasi-data-bagian-dari-korupsi). 

Sehingga Bagi Feri, langkah yang tepat yang harus dilakukan oleh regulator adalah dengan mencabut predikat proper. Pihaknya juga pihak terkait untuk menutup operasional perusahaan sampai persoalan lingkungan ini diatasi. Untuk itu pula ditambahkan Feri kalau pihaknya akan terus mengawal kasus ini. 

"Ini ada akal-akalan dengan memberikan mereka rapor (proper) biru, seharusnya hitam. (Sebab) Ada dugaan gratifikasi dan manipulasi data yang bisa dikatakan penyalahgunakan kewenangan dan korupsi," kata Feri. Apa yang disampaikannya itu, merujuk pada UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU NO.31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 11 yang berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00(dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Juga pada pasal 12 yang secara terperinci berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi:

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Di antara Pasal 12 dan Pasal 13, dalam UU tersebut juga disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12 A: (1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 12 B: (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C: (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. (3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.