Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengungkapkan, bahwa politik dinasti dan politik aji mumpung saat ini semakin brutal dibandingkan dengan yang sudah ada sebelumnya.
- Politik Kekerabatan di Pilkada Serentak Sumsel, Urusan Rakyat Selesai di Meja Makan!
- Perludem: Sulit Melarang Politik Dinasti Melalui Pendekatan Hukum
- Dampak Putusan MK, Suara Prabowo Bakal Anjlok jika Pilih Gibran jadi Cawapres
Baca Juga
Hal ini disampaikan oleh Feri saat menjadi narasumber dalam seminar nasional bertema "Menakar Politik Dinasti dan Politik Aji Mumpung" yang digelar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Negeri Islam (UIN) Raden Fatah Palembang, Kamis (25/7).
Feri menjelaskan, bahwa politik dinasti dan politik aji mumpung bukanlah fenomena baru, melainkan sudah ada sejak lama. Namun, menurutnya, intensitas dan sifatnya saat ini semakin agresif.
Ia menyoroti bahwa ideologi partai politik kini tidak lagi menjadi dasar utama dalam proses pencalonan pemimpin. Sebaliknya, strategi untuk memenangkan kontestasi pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah (Pilkada), menjadi fokus utama.
"Contohnya adalah sosok Marcel di Tanggerang Selatan, yang sederhana namun berhasil mendulang suara secara signifikan. Sementara orang-orang pintar seperti Fatria kesulitan memperoleh dukungan elektoral. Ini menunjukkan masalah utama terletak pada partai politik itu sendiri," kata Feri.
Ia berpendapat bahwa partai politik saat ini di Indonesia lebih mirip perusahaan keluarga ketimbang institusi politik yang seharusnya menggabungkan ideologi untuk merebut dan menjalankan roda pemerintahan. Menurutnya, struktur kepemimpinan di partai-partai politik sering kali tidak sesuai dengan fungsinya.
"Partai saat ini ibarat dipimpin oleh seorang CEO dan berakhir jika ia pensiun. Ada partai yang ketua umumnya sudah 31 tahun menjabat sejak didirikan, dan anggota partai tidak berani melawan ketua. Ini menunjukkan bahwa partai tidak berfungsi sebagaimana mestinya," tambahnya.
Feri juga mengkritik tindakan partai politik dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 lalu, di mana calon legislatif terpilih digantikan dengan orang yang memiliki hubungan emosional dengan pimpinan partai. Selain itu, ia menyoroti perubahan aturan yang sering kali menguntungkan pihak tertentu, seperti perubahan usia calon kepala daerah di Mahkamah Agung (MA) yang hanya berlaku untuk satu orang.
"Demokrasi seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang dengan cara yang tepat dan benar. Namun kenyataannya, sering kali hanya berlaku untuk satu orang saja," tegasnya.
Di sisi lain, Prof. Dr. Izomiddin MA, Pakar Filsafat Politik dari UIN Raden Fatah, mengungkapkan bahwa persoalan dinasti politik sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Ia mengutip peristiwa di mana sahabat Nabi, Umar Bin Khattab, secara tegas menolak anaknya untuk menggantikan posisinya karena prinsip integritas.
"Mereka datang dengan tim formatur yang mencantumkan anak Umar, Abdullah bin Umar. Umar marah dan mencoret nama anaknya dari tim formatur. Ini menunjukkan bahwa dinasti politik atau politik aji mumpung tidak akan terjadi jika para pemimpinnya memiliki kesadaran dan tanggung jawab untuk menolak godaan tersebut," ungkap Izomiddin.
- Pakar Hukum: Uang Sitaan Hasil Korupsi ke Mana?
- Komitmen Antikorupsi Tumpul Ketika Berhadapan dengan Oligarki
- Politik Kekerabatan di Pilkada Serentak Sumsel, Urusan Rakyat Selesai di Meja Makan!