Opini WTP 12 Kali Berturut Jadi Kamuflase Sistem Penganggaran yang Kusut [Bagian Pertama]

Walikota Palembang, Harnojoyo (kanan) saat menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kota Palembang tahun anggaran 2021 dari Kepala BPK RI Perwakilan Sumsel, Harry Purwaka beberapa waktu lalu. (ist/rmolsumsel.id)
Walikota Palembang, Harnojoyo (kanan) saat menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kota Palembang tahun anggaran 2021 dari Kepala BPK RI Perwakilan Sumsel, Harry Purwaka beberapa waktu lalu. (ist/rmolsumsel.id)

Pemkot Palembang mendapatkan predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) ke-12 secara berturut-turut dari BPK RI Perwakilan Sumsel atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2021, pada 11 Mei 2022 lalu. 


Pada kenyataannya, Opini WTP ini tidak berarti Pemkot Palembang telah menerapkan prinsip clean and clear dari sisi penganggaran. Sebab BPK RI Perwakilan Sumsel, mendapati temuan potensi kerugian negara yang mencapai Rp15 Miliar. Tidak sampai disitu, dugaan penyelewenangan duit rakyat secara terencana juga terungkap karena BPK juga menemukan modus berulang yang dilakukan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), setidaknya selama tiga tahun kebelakang.  

Salah Kaprah Soal Opini WTP

Melansir informasi publik dari Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dalam rangka pemeriksaan keuangan pemerintah, BPK melakukan assesment terhadap kewajaran informasi yang tercantum dalam Laporan Keuangan dan memberikan opini audit. Empat jenis opini audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW) dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP).

Dalam hal ini, Opini WTP berarti laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, informasi keuangan entitas sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). 

Sesuai ketentuan, terdapat 3 (tiga) pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang dapat dilakukan oleh BPK sebagai supreme auditor,  yaitu pemeriksaan keuangan, kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Masing-masing pemeriksaan tersebut mempunyai tujuan yang berbeda, dimana pemeriksaan keuangan dilakukan atas laporan keuangan untuk memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan.

Sesuai UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, bahwa opini merupakan pernyataan profesional keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada empat kriteria yaitu kesesuaian dengan SAP, kepatuhan terhadap peraturan perundangan, efektivitas sistem pengendalian internal dan kecukupan pengungkapan (adequate disclosures).

Pertama, BPK harus memastikan pencatatan angka-angka antara lain pendapatan, belanja, pembiayaan, aset, hutang dan ekuitas dalam laporan keuangan sesuai dengan SAP. Kesesuaian dimaksud termasuk definisi, pengakuan dan pengukuran nilai rupiah suatu transaksi.

Kedua, dari sisi kepatuhan terhadap ketentuan perundangan, BPK harus melakukan pemeriksaaan terhadap pelaksanaan anggaran dan pengelolaan aset dengan melihat kesesuaiannya terhadap ketentuan perundangan. Misalnya, pengadaan barang jasa harus dipastikan sesuai dengan ketentuan yang mengatur pengadaan barang jasa, pelaksanaan perjalanan dinas pegawai harus sesuai dengan ketentuan perjalanan dinas termasuk besaran rupiahnya.

Ketiga, terkait dengan Sistem Pengendalian Intern (SPI), BPK harus memeriksa efektivitas sistem pengendalian intern dalam pengelolaan keuangan/aset. SPI bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai atas tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian penyelenggaraan pemerintahan,  keandalan laporan keuangan, pengamanan aset dan ketaatan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, SPI yang efektif selayaknya akan memastikan tercapainya program pembangunan dengan baik dan mencegah fraud atau korupsi.

Keempat, untuk menjaga transparansi pengelolaan keuangan, BPK juga harus memastikan seluruh informasi penting yang terkait dengan pengelolaan keuangan telah diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Transparansi tersebut sangat penting agar pengguna laporan keuangan memahami secara utuh laporan keuangan.

Di samping 4 (empat) kriteria di atas, dalam melakukan pemeriksaannya, BPK berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). SPKN tersebut berisikan antara lain prinsip-prinsip pemeriksaan keuangan negara, Standar Umum Pemeriksaaan, Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dan Standar Pelaporan Pemeriksaaan. Artinya, secara profesi, pemberian opini BPK dilakukan sesuai proses yang berlaku  umum dan dilakukan secara profesional.

Deputi K-MAKI Sumsel, Feri Kurniawan. (ist/rmolsumsel.id)

Sehingga, Opini WTP yang dimaksudkan bukan berarti jika pemerintahan tersebut bisa disebut bersih dan terbebas dari penyelewengan uang negara ataupun korupsi. "Seharusnya temuan ini dapat diartikan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam bahasa hukum,” kata Deputi Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K-MAKI) Sumsel, Feri Kurniawan kepada Kantor Berita RMOLSumsel, Jumat (17/6) lalu.

Selain salah kaprah, Pemkot Palembang menurut Feri juga seolah menjadikan Opini WTP yang diterima ini sebagai sebuah prestasi. Bahkan, dalam beberapa kesempatan pemberitaan mengenai didapatkannya WTP oleh Pemkot Palembang ini disebarluaskan secara masif melalui berbagai platform pemerintah. 

Sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang detail mengenai apa yang sebetulnya terjadi, sampai informasi mengenai temuan dari BPK RI ini terkuak ke publik. Sebab, apabila berbicara mengenai uang rakyat, maka menurut Feri pemerintah atau siapapun pihak yang menggunakannya sudah sepatutnya bertanggung jawab. 

Semisal dalam temuan kali ini, lanjut Feri, BPK RI akan mengeluarkan rekomendasi yang harus dilakukan oleh Pemkot Palembang untuk mengembalikan uang negara. Seperti dalam kasus lebih bayar, uang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, kurang volume dalam pembangunan infrastruktur atau proyek, dan sebagainya maka menjadi wajib hukumnya untuk Pemkot Palembang menaati rekomendasi itu.

“Kalau pun mereka sudah mengembalikan sejumlah uang, harusnya tidak menghapus tindak pidana. Setiap penggunaan harus disertai pertanggungjawaban, jika memang tidak ada maka data yang dilaporkan ini merupakan fiktif, dan tentunya harus ditindaklanjuti (secara hukum). Bisa saja, dari temuan awal ini didapati temuan yang lebih besar," jelas Feri. (*/bersambung)