Minim Transparansi, Program Ketahanan Pangan di Muara Enim Tuai Kritik

ilustrasi/ist
ilustrasi/ist

Anggaran besar digelontorkan pemerintah untuk program ketahanan pangan desa, namun di Kabupaten Muara Enim, program ini justru dinilai tak terlihat wujudnya.


Ironisnya, banyak warga desa tak mengetahui bahwa ada dana khusus yang semestinya digunakan untuk memperkuat ketahanan pangan mereka.

“Coba saja cek langsung ke desa-desa, masyarakat tidak tahu ada program ini. Dampaknya pun tak terasa,” ujar pegiat keterbukaan informasi, Alkautsar ketika diwawancarai, Jum'at (23/5).

Ia menjelaskan bahwa sejak tahun 2022, pemerintah pusat melalui Perpres Nomor 104 Tahun 2021 dan Permendes Nomor 8 Tahun 2022 telah mewajibkan alokasi minimal 20 persen Dana Desa untuk ketahanan pangan. Artinya, jika satu desa mendapat Rp1 miliar, maka Rp200 juta wajib digunakan untuk program tersebut.

“Tapi mana hasilnya? Tidak ada pertanian atau peternakan baru yang berkembang, tidak ada peningkatan produksi pangan yang dirasakan masyarakat. Ini patut dipertanyakan,” ujar Alka.

Menurutnya, potensi penyalahgunaan sangat besar karena minimnya pengawasan dan keterbukaan. Ia menyebut, dana ketahanan pangan adalah amanah publik yang tak boleh dikuasai segelintir orang atau dijadikan proyek formalitas tanpa hasil.

“Tanpa transparansi dan pelaporan yang jujur, ketahanan pangan hanya jadi jargon. Semua anggaran harus terbuka, bisa diakses publik,” tegasnya.

Kritik serupa datang dari warga Muara Enim, Joni R. Ia menyebut banyak kepala desa menjalankan program hanya di atas kertas. “Jangan nodai kepercayaan rakyat. Program bagus kalau tak dijalankan dengan benar, hasilnya justru merugikan,” ucapnya.

Joni mendorong adanya evaluasi menyeluruh, pelatihan khusus, dan pengawasan lintas sektor agar program ketahanan pangan benar-benar menyentuh kebutuhan warga desa.

“Kita tak perlu menoleh ke belakang. Tapi masa depan harus dijamin lebih baik, dan itu butuh peran aktif semua pihak, termasuk aparat penegak hukum,” pungkasnya.