Mendalami Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah di Sumsel, Terlambat di Eksekusi Memunculkan Polemik dan Kontroversi [Bagian Kelima]

Prosesi pelantikan Pj Bupati/Wali Kota di Sumsel di Griya Agung. (ist/rmolsumsel.id)
Prosesi pelantikan Pj Bupati/Wali Kota di Sumsel di Griya Agung. (ist/rmolsumsel.id)

Dugaan maladministrasi dalam proses penunjukkan Pelaksana Tugas (Plt) dan bukan Pelaksana Harian (Plh), sebagai pejabat pengganti mereka yang ditunjuk sebagai Penjabat (Pj) Bupati dan Pj Wali Kota di Sumsel, terus bergulir. 


Beberapa tokoh masyarakat di sejumlah daerah di Sumsel mulai angkat bicara, berkaitan dengan lambannya eksekusi yang dijalankan oleh Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni. 

Berbagai dugaan muncul, apakah Agus sengaja membiarkan karena ikut menikmati? Ataukah Agus yang merupakan perpanjangan tangan Mendagri Tito Karnavian ini tersandera? 

Diantara suara dari tokoh masyarakat itu, ada yang meminta penunjukkan ulang Pj Bupati dan Wali Kota di Sumsel. Namun, ada pula yang berharap Agus Fatoni bisa segera melakukan pembenahan. 

Yaitu dengan kembali mengikuti Permendagri No.4 tahun 2023, mengganti Pelaksana Tugas Kepala Dinas saat ini dengan Pelaksana Harian. 

Seperti diungkapkan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gabungan Lembaga Anti Korupsi (Galaksi) Muara Enim, Maulidin yang menyayangkan adanya peraturan yang terkadang ambigu atau memiliki makna yang kabur. 

Sepintas, berdasarkan Permendagri No.4 tahun 2023 yang ditetapkan oleh Mendagri itu, di pasal 13 bagian keempat, ditegaskan bahwa Pj Bupati atau Wali Kota harus juga menjabat sebagai pejabat eselon II (JPT Pratama) atau tetap secara struktural mengepalai dinas yang ditinggalkan. 

Hal inilah yang menurutnya tidak dipertegas dengan peraturan lain atau keterangan tambahan agar tidak multitafsir. "Misalnya ditambahkan kalimat, bahwa seorang Pj Bupati tidak dibenarkan meninggalkan jabatan sebelumnya. Jadi, jangan sampai ini dibiarkan, harus ada upaya pencarian solusi dari pemerintah atau pemangku kebijakan terkait persoalan tersebut, agar tidak bertolak belakang dengan peraturan yang ada," katanya.

Sebab, sambung Maulidin, aturan yang dibuat harus dijadikan pedoman dalam menjalankan pemerintahan dan bernegara. "Dalam aturan jelas dikatakan bahwa jabatan yang ditinggalkan haruslah diisi dengan pelaksana harian. Jadi pemangku kebijakan harus ada opsi untuk membuat hal ini selaras dengan aturan perundang-undangan, namun pertanyaannya apakah status Pj Bupati Muara Enim ini termasuk berhalangan tetap sehingga mengharuskan penunjukan Plt," ucapnya.

Perbedaan tafsir dan sudut pandang ini terlihat dari apa yang disampaikan oleh Adriansyah, pengamat dari Civil Society Muara Enim. Menurutnya, pejabat eselon II (JPT Pratama) memang menjadi syarat untuk menempati jabatan Pj Bupati. Namun, setelah terpenuhi dan jabatan Pj Bupati sudah diisi, maka persyaratan itu tidak berlaku lagi.

"Persyaratan itu tidak berlaku selama menduduki masa jabatan, jadi tidak masalah ketika jabatan sebelumnya diisi oleh seorang pejabat dengan status Plt dan tidak mesti Plh," terangnya. Kendati demikian, agar semakin yakin, dia menyarankan untuk diajukan judicial review atas belaid tersebut. 

"Apakah status kepala dinas hanya sebuah syarat untuk menduduki jabatan Pj Bupati atau jabatan kepala dinas harus tetap disandang atau melekat sehingga untuk tugas sehari-hari diangkatlah Plh. Harus dipertegas, apabila jabatan kepala dinasnya dicopot maka akan menggugurkan jabatan PJ yang diembannya, yang ini mesti dilakukan judicial review ke MA," bebernya. 

Di sisi lain, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Muara Enim periode 2010-2015, Taufik Rahman berpendapat bahwa dalam kasus Pj Bupati Muara Enim, maka Ahmad Rizali tetap sebagai pejabat Kepala Dinas dengan jenjang eselon II di Provinsi Sumsel, karena merupakan syarat sebagai Pj Bupati. 

Ketika jabatannya sebagai kepala dinas digantikan oleh Pelaksana Tugas (Plt), maka Ahmad Rizali dinilainya tetap sebagai Kepala Dinas. "Jadi penunjukkan Plt (di dinas yang ditinggalkan) itu tidak menggugurkan statusnya sebagai kepala dinas," kata Taufik saat dibincangi Kantor Berita RMOL Sumsel.

Dia mengatakan, penunjukkan Plt sebagai pengganti Ahmad Rizali dilakukan karena berhalangan tetap setelah dirinya ditunjuk jadi Pj Bupati. Taufik mencontohkan kondisi berhalangan tetap seperti seseorang sedang menerima hukuman masa tahanan (dipenjara) namun belum diberhentikan karena belum ada kekuatan hukum tetap 

"Bisa juga sakit, berhalangan masuk hingga berbulan-bulan itu juga ditunjuk Plt, sama halnya dengan beliau ini (Ahmad Rizali) karena ditunjuk sebagai Pj Bupati Muara Enim dan berhalangan untuk ke sana (Dinas Perdagangan Provinsi Sumsel) maka ditunjuklah seorang pelaksana tugas," jelasnya.

Penunjukkan Pj Wali Kota Pagar Alam Dinilai Tidak Sah

Lain di Muara Enim, lain pula di Pagar Alam. Dugaan maladministrasi yang terjadi dalam proses penunjukkan Pj Wali Kota, Lusapta Yudha Kurnia justru memberikan konsekuensi tidak sahnya produk hukum ataupun kebijakan yang dikeluarkan oleh penjabat Wali Kota tersebut. 

"Hal itu adalah sebuah tindakan maladministrasi maka konsekuensinya adalah produk hukum turunannya adalah diragukan keabsahannya," ujar Riando Herman, Aktivis Pemuda di Kota Pagar Alam

Disisi lain, pengamat hukum asal kota Pagar Alam Wilmanson SH MH menilai, meski terbilang baru aturan yang dibuat pemerintah tersebut adalah mengikat dan wajib dipatuhi. Ia pun menyarankan agar Inspektorat Provinsi Sumsel dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) harus mencermati lebih lanjut soal aturan yang telah dibuat.

"Kalaupun ada potensi atau keraguan (penunjukkan Pj Walikota) maka saran saya sebaiknya dicarikan solusi cepat namun tetap berpegang pada aturan agar persoalan ini tidak berkepanjangan," ujar Wilmanson. 

Sementara Pj Wali Kota Pagar Alam, Lusapta Yudha Kurnia enggan berkomentar banyak terkait polemik penunjukkan Plt Kepala Dinas penggantinya. "Tanya dengan BKD provinsi, dik. Kewenangan provinsi bukan usulan Pj," jawabnya lewat pesan Whatsapp.

Aroma Politik Dibalik Proses Penunjukkan Pj Bupati OKU

Di lain tempat, tokoh Pemuda Ogan Komering Ulu, Novri mencium aroma politik dibalik proses penunjukkan Pj Bupati OKU. Bukan hanya saat ini, tetapi juga jauh sebelum ini. Menurutnya, penunjukkan pucuk pimpinan di OKU kerap melanggar aturan. 

"Sebenarnya, praktik politik di OKU ini bukan yang pertama kali melabrak hukum. Apalagi sedari awal, Teddy (Meilwansyah) menuju ke Pj Bupati saja itu sudah melanggar aturan," kata Novri. 

Sehingga menurutnya, permasalahan ini harus dicermati secara komprehensif dan jangan subjektif. Harus dilihat dari pejabat sebelumnya seperti Pjs Muhammad Zaki Aslan, sampai Plh Edwar Candra.

"Pak Edwar itu kan Plh, seharusnya dievaluasi tiga bulan sekali atau dikalikan dua. Tapi faktanya sudah sampai setahun menjabat Plh Bupati OKU. Dari situ saja bisa kita lihat ada malpraktek hukum dalam proses penunjukkan kepala daerah," tegasnya.

Tak terlepas dari maladministrasi yang dimaksud, Novri juga mengkritisi kinerja dari Pj Bupati OKU, Teddy Meilwansyah yang saat ini lebih banyak melakukan manuver politik untuk menarik simpati masyarakat. 

"Padahal, yang bersangkutan merupakan pejabat administratif yang ditunjuk Mendagri. Bukan pejabat politik. Jadi yang patut dipertanyakan, sejauh mana kontribusi Teddy terhadap masyarakat OKU," bebernya.