Mendalami Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah di Sumsel, Tak Mampu Jalankan Aturan Atau Ikut Diuntungkan? [Bagian Keempat]

Pj Bupati dan Wali Kota di Sumsel saat dilantik di Griya Agung. (ist/rmolsumsel.id)
Pj Bupati dan Wali Kota di Sumsel saat dilantik di Griya Agung. (ist/rmolsumsel.id)

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menunjuk Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni sebagai perpanjangan tangan. 


Bersama tugas, fungsi dan kewenangannya melekat pula tanggung jawab moril maupun materil untuk melakukan perbaikan di daerah yang dipimpinnya saat ini, Sumsel. 

Oleh sebab itu, kesalahan dalam penunjukkan Pelaksana Tugas (Plt) dan bukan Pelaksana Harian (Plh), sebagai pejabat pengganti mereka yang ditunjuk sebagai Penjabat (Pj) Bupati dan Pj Wali Kota di Sumsel, seharusnya segera diperbaiki. 

Seperti yang disampaikan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsri, Prof Alfitri yang dibincangi beberapa waktu lalu. Semakin lama kesalahan ini dibiarkan, maka menurutnya akan memberi dampak yang lebih luas. 

Utamanya berkaitan dengan proses administrasi, karena penunjukkan Plt Kepala Dinas tidak sesuai prosedur. Termasuk Pj Kepala Daerah yang kini menjabat bisa dianggap gugur karena tempatnya telah digantikan oleh Plt Kepala Dinas ataupun Sekda. 

"Ada payung hukum yang harus kita hormati, ketika bertentangan maka yang dipegang artinya gugur," katanya.

Lebih jauh, kesalahan ini menurutnya juga dapat memicu gugatan hukum, baik kepada individu, jabatan, maupun Pemprov Sumsel karena dinilai abai atau tidak paham dengan aturan yang berlaku. 

Karena menurut Alfitri, permasalahan yang muncul nantinya akan bermuara kepada kebijakan yang dikeluarkan oleh Dinas maupun Kepala Daerah yang dimaksud, yang ditunjuk lewat prosedur yang salah. 

"Kaitannya dengan produk kebijakan pemerintah. Misalnya masalah keuangan. Ada konsekuensi hukumnya. Jadi menurut saya memang harus (segera) diluruskan," ujarnya.

Alfitri menyebut, penunjukkan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik atau kepentingan tertentu. Akan tetapi, kalaupun penunjukkan ini berkaitan dengan kepentingan, bukan berarti harus menabrak aturan. 

Sehingga dari sini terlihat, bagaimana tata kelola pemerintahan yang dijalankan. Bahkan perwakilan pemerintah pusat sekalipun tidak mampu melakukan perbaikan. 

Sengaja Dibiarkan, Siapa Saja yang Diuntungkan?

Kesalahan dalam prosedur penunjukkan Plt dan bukan Plh ini menurut Pengamat Politik dari Stisipol Chandra Dimuka, Ade Indra Chaniago telah dimulai sejak awal, sehingga hasilnya juga sudah bisa diprediksi. 

"Secara logika kalau secara administrasi saja sudah cacat, tentu bisa dipastikan kalau hasilnya juga cacat. Alasan (untuk melakukan perbaikan), saya pikir cukup jelas bahwa negara ini adalah negara hukum, jadi siapapun harus tunduk dan patuh pada hukum," katanya. 

Apabila ditanya, maka Pj Gubernur Sumsel saat ini tentu tidak akan mau dilimpahkan kesalahan dalam prosedur yang salah ini. Tapi di sisi lain, belum juga terlihat langkah tegas perbaikan yang dilakukan. 

Akibat yang lebih jauh kata Ade, maka akan terdapat dua masalah baru. Pertama adalah siapa yang bertanggung jawab saat pejabat yang cacat prosedural ini menghasilkan produk atau kebijakan yang jelas salah secara aturan. 

Kedua, adalah mengenai kesan pembiaran, kesan kesengajaan, yang tidak bisa terelakkan. Justru jika hal ini sengaja dibiarkan, maka menurut Ade patut dipertanyakan siapa sajakah yang diuntungkan.

Maka, sambung Ade, sepanjang pertanyaan ini belum terjawab, maka selama itu pula akan muncul banyak asumsi dari masyarakat atas polemik penunjukkan Pj Bupati dan Pj Wali Kota di Sumsel ini. 

"Dan kalau ditanya apakah ada muatan politis, jawabannya pasti (ada). Nah persoalannya siapa yang diuntungkan oleh situasi ini, apakah person, kelompok atau golongan ataukah orang banyak, saya pikir ini yang kita semua ingin tahu jawabannya," bebernya.

Apakah termasuk Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni juga termasuk orang yang diuntungkan atas hal ini?