Kabut Asap Kian Pekat, Dana Pencegahan Karhutla Menguap, Siapa Terlibat?

Karhutla yang terjadi di kawasan Desa Sepucuk, Kabupaten OKI. (dok/rmolsumsel.id)
Karhutla yang terjadi di kawasan Desa Sepucuk, Kabupaten OKI. (dok/rmolsumsel.id)

Dana pencegahan dan penanganan Karhutla di Sumsel dalam beberapa tahun terakhir digelontorkan cukup fantastis. Selama periode 2019-2023, anggaran yang dikeluarkan hampir Rp100 miliar. 


Dalam penelusuran, pada 2019, dana penanganan Karhutla mencapai Rp1,7 miliar. Jumlah tersebut meningkat di 2020 yang mencapai Rp40 miliar. Dana tersebut dibagikan ke 10 daerah. Diantaranya, Kabupaten OKI Rp6 miliar, Ogan Ilir Rp5 miliar, Musi Banyuasin Rp5 miliar, Banyuasin Rp5 miliar dan Kabupaten Muara Enim Rp5 miliar. Kemudian Kabupaten Pali Rp5 miliar, Musi Rawas Rp1 miliar, Muratara Rp1 miliar, OKU Rp2 miliar, dan OKU Timur Rp2 miliar.

Lalu, di 2021, dana penanganan Karhutla turun menjadi Rp30 miliar yang dialokasikan ke sejumlah instansi terkait untuk pembelian peralatan penanganan Karhutla seperti pompa air, selang, infrastruktur pembasahan dan lainnya. Namun, pada 2022 dan 2023, dana penanganan Karhutla ini tidak pernah secara spesifik disebutkan, termasuk untuk apa digunakan. Sehingga disinyalir menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan yang mencapai puncaknya tahun ini. 

Salah satu upaya pencegahan yang bisa dilakukan sebetulnya restorasi gambut. Dengan luasan areal gambut mencapai 1,2 juta hektar, Provinsi Sumsel menjadi sasaran pemerintah pusat dalam menerapkan program restorasi gambut. 

Dalam Permen LHK No.2 tahun 2023 disebutkan, program restorasi gambut melibatkan sejumlah instansi dari pusat hingga daerah. Di dalam aturan itu, untuk organisasi pelaksana kegiatan restorasi gambut, Menteri LHK menugaskan sebagian urusan pemerintahan dalam pelaksanaan kegiatan Restorasi Gambut kepada Gubernur. Penugasan tersebut selanjutnya dibuat mekanisme Tugas Pembantuan. 

Kegiatan restorasi gambut terdiri dari kegiatan utama dan pendukung. Untuk Kegiatan utama yakni pembangunan infrastruktur pembasahan, bantuan pemeliharaan dan perbaikan, pembangunan petak percontohan revegetasi lahan Gambut bekas terbakar, bantuan pemeliharaan petak percontohan revegetasi, revitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat, fasilitasi pemberdayaan masyarakat, operasional pembasahan dan fasilitasi tim restorasi gambut daerah. 

Sementara untuk kegiatan pendukung berupa rapat rutin, koordinasi dan konsolisasi. Pengelolaan program dan pendukung kegiatan, fasilitasi penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dan monitoring serta evaluasi pelaksanaan kegiatan. 

Dalam struktur, Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) berperan menetapkan rencana program, kegiatan dan anggaran. Termasuk didalamnya menetapkan Kawasan Hidrologi Gambut sasaran 2023. Pertimbangan teknis program itu nantinya diajukan oleh Kepala Satker kepada Kepala BRGM untuk selanjutnya diajukan ke Menteri LHK.  

Menteri kemudian menetapkan alokasi anggaran Tugas Pembantuan kegiatan restorasi gambut sesuai dengan usulan dari Kepala BRGM. Sementara Gubernur bertugas dan bertanggung jawab melakukan sinkronisasi pelaksanaan Tugas Pembantuan, mengusulkan Satker perangkat daerah provinsi sebagai KPA Tugas Pembantuan serta melakukan koordinasi, pengendalian, pengawasan dan pelaporan pelaksanaan Tugas Pembantuan. 

Kepala Satker yang berperan sebagai KPA Tugas Pembantuan ini ditunjuk Menteri LHK berdasarkan usulan Gubernur. KPA Tugas Pembantuan inilah yang punya peran aktif dalam melaksanakan setiap rinci program restorasi gambut yang telah disusun. Dia juga memiliki wewenang untuk membentuk ULP serta melaksanakan tender kegiatan program restorasi gambut. Dengan kata lain, KPA inilah yang berwenang sebagai pengguna anggaran pencegahan karhutla.

Pencegahan Karhutla Juga Dapat Kucuran Dana dari APBD

Selain Kepala Satker, pemerintah daerah punya peran dalam program restorasi gambut melalui pendanaan APBD. Hal itu juga diakui oleh Kepala Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD), Dharna Dahlan yang dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel beberapa hari lalu. Menurut Dharna, restorasi gambut terbagi menjadi tiga program utama. Yakni rewetting, revegetasi dan revitalisasi.

Dijelaskannya, sampai tahun 2022, (BRGM) dan Pemprov Sumsel telah membangun sebanyak 1.080 unit sekat kanal serta 281 unit sumur bor sebagai upaya rewetting atau pembasahan kembali kawasan gambut. Selain pembasahan kembali lahan gambut, pemerintah juga melakukan upaya revegetasi atau penanaman kembali lahan gambut yang terbakar. Hingga 2022, sudah sekitar 85 hektar lahan gambut yang direvegetasi

"Jadi ditanam tanaman khas gambut seperti Meranti dan tanaman khas lainnya," ucapnya. Upaya lainnya yakni revitalisasi. Dimana masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hidrologi gambut diberdayakan untuk menjaga lahan. Mereka akan diberikan usaha seperti pemeliharaan sapi, ikan ataupun usaha lainnya yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya

"Sejauh ini sudah ada 987 paket bantuan ke kelompok masyarakat yang tinggal di dekat areal gambut," terangnya.

Dana untuk program-program tersebut, menurut Dharna tidak hanya berasal dari pusat. Tetapi juga dari APBD yang 'dititipkan' ke instansi atau organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Seperti Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) untuk pembangunan sekat kanal dan infrastruktur pembasahan. Kemudian Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) untuk program revitalisasi dan Dinas Kehutanan (Dishut) untuk program revegetasi. 

"TRGD tidak punya wewenang untuk memegang anggaran. Kami sifatnya hanya mengajukan program. Sementara eksekusinya di dinas terkait," bebernya. Secara tidak langsung, Dharna mengungkapkan bahwa tiga dinas itulah yang seharusnya dan menyampaikan secara transparan berapa dana yang sudah digunakan dan untuk apa dana itu digunakan kepada publik. 

Pemprov Sumsel bersama dengan International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) Indonesia menggelar evaluasi pelaksanaan restorasi gambut yang telah berjalan sampai dengan saat ini, melalui kegiatan yang bertajuk “Kick-Off Restorasi, Pengelolaan, dan Pendanaan Ekosistem Gambut Berkelanjutan: Capaian, Evaluasi, dan Rekomendasi Paska 2024”, yang berlangsung di Hotel Aryaduta Palembang, Rabu (11/10).

Kegiatan yang menghadirkan berbagai mitra pembangunan dari Perguruan Tinggi, Perusahaan/Swasta, Asosiasi, NGO/LSM, Instansi Pemerintah Pusat terkait, serta Instansi Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Selatan ini didukung oleh proyek Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods in Indonesia (Land4Lives) dan Global Affair Canada.

Proses kegiatan kick-off diisi dengan sesi paparan dan diskusi kelompok (FGD) yang ditujukan untuk mengidentifikasi dan menentukan prinsip, kriteria, dan indikator untuk mengevaluasi efektivitas restorasi dan pelestarian gambut di Provinsi Sumatera Selatan, serta memetakan sumber dan sasaran pendanaan program restorasi dan pelestarian ekosistem gambut hingga 2023. 

Salah satu statement yang muncul dalam kegiatan tersebut adalah mengenai kebutuhan tambahan pendanaan. "Penanganan yang memakan waktu panjang, tentunya Sumsel tidak bisa hanya bergantung pada anggaran pemerintah saja," kata Deputi Direktur CICOR-ICRAF, Andree Ekadinata. 

Aktivis Lingkungan Minta Audit Dana Pencegahan dan Penanganan

Hal ini sangat disayangkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumsel melalui Kepala Divisi Kampanye WALHI Sumsel, Febrian Putra Shopah. Dengan karhutla yang terjadi, serta evaluasi yang tidak mencerminkan nilai-nilai perbaikan, Pemprov Sumsel dianggap gagal paham dalam menangani akar masalah. Penanganan Karhutla yang terkesan hanya berfokus pada pemadaman api membuat ekosistem gambut yang menjadi sumber api saat musim kemarau menjadi terabaikan. 

"Pemerintah hanya fokus penanganan. Tetapi kan masalah subtansialnya terletak pada kerusakan ekosistem gambut yang menjadi pemicu kebakaran," kata  

Menurut Febri, lokasi kejadian Karhutla tahun ini juga terus berulang setiap tahunnya. "Artinya titik lokasi ini sudah bisa dipetakan potensinya. Tetapi, tidak ada tindakan dari pemerintah yang benar-benar tepat dalam melakukan antisipasi," ucapnya. Bahkan Kementerian LHK juga telah menindak sejumlah perusahaan (korporasi) pelanggar dan perusak lingkungan. 

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI), Dedi Permana yang dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel. Dia mengatakan, penanganan dengan dana miliaran ini terkesan sia-sia karena pendekatan yang digunakan masih bersifat parsial. Selain itu, perlindungan dan pengelolaan gambut ini juga belum terintegrasi dalam satu landskap. Melainkan, masing dilakukan terpisah atau sendiri-sendiri.

"Karena itu, gambut itu tetap menjadi sangat rawan terhadap kerusakan dan potensi kebakaran," katanya. Seharusnya menurut Dedi, yang perlu dilakukan pertama-tama yaitu sebuah master plan yang berbasis lanskap, sehingga semua pihak melakukan kegiatan terarah mengikuti masterplan, baik dalam kontek penataan air maupun pemanfaatannya. "Karena tidak dimulai dengan membangun masterplan, maka tidak ada patokan dan arahan sehingga infrastruktur gambut tidak berfungsi dengan layak. Sehingga (dana pencegahan) dapat dibilang sia-sia, Kami berharap ini menjadi evaluasi terkait perlindungan dan pengelolaan gambut," terangnya

Sebelumnya, aktivis lingkungan dari Koalisi Kawali Sumsel juga sudah menggelar aksi di halaman DPRD Sumsel pada Senin (9/10) terkait belum maksimalnya pencegahan dan penanganan Kebakaran hutan kebun dan lahan (Karhutbunla) hingga menyebabkan terjadinya kabut asap di Palembang. Pihaknya menilai lemahnya kepemimpinan Gubernur Sumsel Herman Deru sebelumnya yang dinilai tidak peduli terhadap dampak asap di masa yang akan datang ikut menjadi penyebab. 

Sehingga mereka meminta kepemimpinan Pj Gubernur Agus Fatoni, agar dilakukan penanganan lebih konkrit dan maksimal. “Serangkaian penanganan Karhutbunla yang terjadi sejak beberapa tahun ke belakang sia-sia, terbukti praktik pelanggaran terhadap hak masyarakat masih terus terjadi disini,” tegas Ketua Kawali Sumsel Chandra Anugerah. Oleh sebab itu, pihaknya juga meminta semua pihak bertanggung jawab. 

Mulai dari menagih janji presiden Jokowi untuk mencopot Kapolda dan Pangdam yang tidak bisa menangani karhutbunla, termasuk meminta Aparat Penegak Hukum (APH) mengusut penggunaan dana pencegahan dan penanganan yang telah digelontorkan selama ini. "Kami akan surati APH dan akan menggelar aksi terkait hal ini. Audit dana penanganan karhutbunla itu, tangkap oknum yang bermain dan menyebabkan kerugian bagi masyarakat," jelas Chandra.