Dijadikannya BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib dalam mengurus sejumlah pelayanan publik, mulai dari pembuatan SIM dan SKCK, pengurusan STNK, izin usaha, jual beli tanah, naik haji, umrah, hingga keimigrasian dikritisi anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon.
- Di Forum COP-28, Fadli Zon: Perang di Gaza Bukan Hanya Kejahatan Kemanusiaan, tapi Juga Lingkungan
- Anak Buah Menkeu Tak Terima Bosnya Dikuliti, Fadli Zon Umbar Bobroknya Fundamental Ekonomi Era Jokowi
- Kehadiran Bjorka Menunjukkan Kelemahan Kemenkominfo
Baca Juga
Fadli menilai Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional seharusnya tidak mengikat bagi seluruh masyarakat. Inpres tersebut ditujukan ke beberapa kementerian, kepolisian hingga kepala daerah tingkat I dan II secara vertikal, termasuk yang menjadi mitra Komisi I DPR RI seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Menurut saya, Inpres tersebut memang disusun sangat gegabah, karena mengabaikan banyak sekali aspek, mulai dari soal filosofi, keadilan, kepantasan, serta prinsip pelayanan publik itu sendiri,” jelas Fadli dikutip dari Parlementaria, Senin (28/2).
Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI ini memiliki beberapa catatan mengenai Inpres yang dinilai kurang patut tersebut. Menurutnya, pelayanan kesehatan serta layanan publik lainnya, terutama yang bersifat dasar, pada prinsipnya adalah hak rakyat, yang seharusnya dilindungi oleh negara. Sehingga, negara tak boleh memposisikan hak tadi seolah-olah adalah kewajiban.
“Apalagi, hak rakyat dalam satu bidang kehidupan, dalam hal ini kesehatan, kemudian hendak dijadikan penghalang bagi hak dalam bidang kehidupan lainnya. Dari sudut filosofi pelayanan publik, ini jelas keliru,” jelas Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI ini.
Kemudian dari sisi tata peraturan perundang-undangan, Inpres itu kedudukannya tak bisa mengikat umum (semua orang, atau setiap orang). Kedudukan Inpres hanya bersifat mengikat ke dalam para pejabat Pemerintah di bawah Presiden.
Selain itu, Inpres juga seharusnya tidak memasukkan muatan yang bersifat pengaturan di dalamnya dan sedapat mungkin tidak menimbulkan efek pengaturan terhadap masyarakat, karena Presiden telah diberi kewenangan lain untuk menetapkan peraturan, yaitu berupa Peraturan Presiden.
“Dengan demikian, Inpres bukanlah bagian dari peraturan perundangan atau peraturan kebijakan. Sehingga, jika Inpres Nomor 1 Tahun 2022 kemudian diterjemahkan menjadi peraturan-peraturan baru terkait BPJS, maka hal itu bukan hanya menyalahi prinsip penyusunan peraturan perundang-undangan, tapi bahkan bisa melangkahi kewenangan sebuah undang-undang,” terangnya.
Meskipun UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mewajibkan semua orang mendaftarkan diri dalam kepesertaan BPJS, mestinya Pemerintah menyelidiki terlebih dahulu kenapa orang tak mendaftar.
“Inpres Nomor 1 Tahun 2022 jangan menjadi alat pemaksaan BPJS. Tugas Pemerintah mencari tahu atau memahami kendala yang dihadapi masyarakat mengapa tak daftar BPJS. Jangan sampai masyarakat jadi kian antipati terhadap BPJS,” tegas legislator dapil Jawa Barat V tersebut.
Fadli menekankan, Inpres tersebut sangat tak adil bagi masyarakat. Di satu sisi masyarakat dipaksa menjadi peserta BPJS, namun di sisi lain sistem dan manfaat pelayanan BPJS sendiri masih kerap berubah-ubah.
- KPK Sebut Kerugian Akibat Fraud di Bidang Kesehatan Capai Rp 20 Triliun
- 45 Ribu Warga Empat Lawang Tercover BPJS Kesehatan
- Kepala Cabang BPJS Kesehatan Palembang Evaluasi Pelayanan Melalui Interaksi Langsung dengan Peserta JKN