Hasil Survei Pilpres Putaran Kedua Timor Leste Unggulkan Jose Ramos-Horta

Jose Ramos Horta saat melakukan pemilu di pinggiran Dili, Selasa (19/4) /Net
Jose Ramos Horta saat melakukan pemilu di pinggiran Dili, Selasa (19/4) /Net

Hasil survei voting pilpres Timor Leste dalam putaran kedua diperkirakan Jose Ramos-Horta unggul.


Pemenang Nobel dan mantan presiden Timor Leste ini telah menerima 46,5 persen suara pada putaran pertama bulan lalu dan hanya membutuhkan 30.000 suara tambahan untuk mengamankan mayoritas.

Penghitungan suara awal diharapkan akan selesai pada Selasa malam (19/4). Dalam pertarungan ini, Ramos-Horta, yang juga sedang menjabat sebagai perdana menteri dan menteri luar negeri, melawan presiden petahana, Francisco "Lu Olo" Guterres, tokoh perlawanan terkenal lainnya yang mengumpulkan 22,1 persen di putaran pertama.

Seusai melakukan voting di pinggiran Dili, Ramos-Horta mengatakan dia sangat yakin akan menang, tetapi akan menerima hasil apa pun.

Sementara, Lu Olo, juga menegaskan komitmen yang sama dengan Ramos-Horta yakni menerima hasil dengan apa adanya.

"Ini demokrasi dan saya selalu bilang (jika menang atau kalah) harus bermartabat," ujar Lu Olo, dikutip oleh Reuters.

Dikatakan bahwa akan terjadinya perpecahan politik dalam pilpres kali ini. Ramos-Horta, menyatakan bahwa Ia dapat menggunakan kekuasaan presiden untuk membubarkan parlemen dan menyerukan pemilihan parlemen dini jika dirinya menang.

Ramos-Horta mengatakan bangsanya dapat mengharapkan "gempa politik" jika dirinya terpilih.

Ramos-Horta mengatakan dia merasa terdorong untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden, setelah Lu Olo yang berusia 67 tahun menolak untuk bersumpah di lebih dari setengah lusin menteri Partai Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor (CNRT), setelah pemilihan 2018 karena penyelidikan atas perilaku mereka, termasuk dugaan korupsi.

Penolakan tersebut memicu gaduhnya suasana politik yang sedang berlangsung.

Damien Kingsbury, seorang ahli Timor Timur dan profesor emeritus di Universitas Deakin Australia, mengatakan pembubaran parlemen dapat memperkenalkan tingkat ketidakstabilan kembali ke dalam sistem politik Timor.

Negara setengah pulau berpenduduk 1,3 juta jiwa itu dalam beberapa tahun terakhir bergulat dengan ketidakstabilan politik dan kebutuhan untuk mendiversifikasi ekonominya dari penjualan minyak dan gas.