DPRD Tak Anggarkan Dana Pemasangan Tiang Pancang Komplek Kantor Gubernur Sumsel, Kok Bisa? 

Lokasi yang direncanakan menjadi komplek Kantor Gubernur Sumsel yang baru di kawasan Keramasan. (rmolsumsel.id)
Lokasi yang direncanakan menjadi komplek Kantor Gubernur Sumsel yang baru di kawasan Keramasan. (rmolsumsel.id)

DPRD Sumsel tidak menganggarkan dana untuk pemasangan tiang pancang pembangunan Komplek Kantor Gubernur Sumsel di Keramasan pada APBD Perubahan Sumsel Tahun Anggaran (TA) 2021.


Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, Hasbi Asadiki, pada APBD Induk Tahun 2021 sebelumnya sudah bersama-sama dibahas dengan Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim), karena memang ada persoalan terhadap lingkungan dan dipastikan bahwa dinas akan mengalihkan anggaran pemasangan tiang pancang pembangunan Komplek Kantor Gubernur Sumsel.

“Sehingga rencana penganggaran pemasangan tiang pancang di Keramasan itu telah dibatalkan. Jumlah anggaran pemasangan tiang pancang saya lupa, tapi di APBD Perubahan tahun 2021 tidak akan berjalan,” ujar dia.

Terkait anggaran lanjutan pembangunan Masjid Sriwijaya yang sudah disahkan sebelumnya, ungkap Hasbi, karena ada proses hukum yang masih berjalan maka dipastikan juga akan dialihkan.

“Anggarannya pasti dialihkan, dan kami tidak akan menganggarkan lagi untuk Masjid Sriwijaya, termasuk penimbunan di Keramasan di APBD Perubahan ini. Kami pastikan tidak ada lagi untuk Masjid Sriwijaya dan pemasangan tiang pancang di Keramasan,” tegas dia.

Politisi Partai Golkar itu mengungkapkan, hasil sinkronisasi data dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dengan pagu yang diterima Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mitra Komisi IV DPRD Sumsel ternyata sama.

“Kita berharap pada APBD Perubahan tahun 2021 ini bisa menyikapi tentang berbagai persoalan di Sumsel. Kalau di Komisi IV lebih banyak tentang usulan pembangunan yang didorong untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat,” kata dia, seraya menandaskan saat ada pembangunan di daerah pasti ada pergerakaan ekonomi. Apakah artinya pembangunan komplek keramasan ini akan dihentikan?

Pemprov Sumsel Sempat Dinilai Ambigu

Sebelumnya diberitakan, pembangunan Komplek Kantor Gubernur di kawasan Keramasan juga telah mendapat kritikan dari DPRD Sumsel. Jelang peringatan HUT RI, Agustus lalu, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Sumsel, Hasbi Asadiki, menilai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel bersikap ambigu.

Karena ingin membangun Kantor Gubernur Sumsel yang baru di kawasan Keramasan, namun di sisi lain lagi merenovasi kantor yang lama. Pada bagian yang di renovasi tersebut akan di pasang ornamen tanjak di atap bangunan Kantor Gubernur Sumsel. Selain perbaikan gedung utama, perbaikan juga menyasar beberapa bagian bangunan. Seperti kantin dan musholla yang berada di belakang gedung. 

“Kita sudah pernah sarankan waktu penimbunan Keramasan, kenapa tidak diperbaiki saja kantor Gubernur Sumsel sekarang. Kenapa mau dibangun kantor gubernur yang baru nian, tapi Pemprov Sumsel waktu itu ngotot nian mau membangun di Keramasan, silakan, kita tidak setuju saat itu,” kata Hasbi, Kamis (12/8).

Renovasi kantor Gubernur Sumsel beberapa waktu lalu. (rmolsumsel)

Pembangunan Mendapat Banyak Penolakan

Pembangunan Komplek Kantor Gubernur ini dilakukan berdasarkan Izin Reklamasi Rawa (IRR) yang dikeluarkan oleh Wali Kota Palembang Harnojoyo. Sayangnya, pembangunan di lokasi tersebut diduga menabrak aturan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, dimana Ruang Terbuka Hijau (RTH) harus mencapai 30 persen dari luas wilayah perkotaan.

Sehingga pembangunan ini juga akan berdampak pada hilangnya wilayah resapan yang membuat kota Palembang akan mengalami banjir yang lebih parah kedepan. Hal ini diungkapkan oleh Pakar Tata Air dan lingkungan dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Sumsel, Dr Edward Saleh yang dibincangi Kantor Berita RMOLSumsel beberapa waktu lalu. 

"Apalagi Palembang yang posisinya rendah dan merupakan lahan rawa sangat membutuhkan resapan air hujan dan kota Palembang termasuk curah hujannya tinggi. Jadi persentasi luas RTH tersebut sangatlah sangatlah jauh dari ideal," katanya beberapa waktu lalu. 

Menurutnya, alih fungsi lahan dari rawa menjadi non rawa sepertinya telah melampaui batas luas yang diizinkan, dan banyaknya penimbunan tak berizin karena luasnya kecil-kecil.

Selain itu, Perda Rawa Kota Palembang yang pernah ditetapkan yakni Nomor 11 Tahun 2012 sudah tidak sesuai lagi dan seharusnya ini ditegakan dengan tegas. Sehingga ini dapat menjadi solusi jangka pendek. 

Untuk solusi jangka panjang yakni pembangunan harus berorientasi konservasi rawa, seperti pemerintah memberikan contoh pembangunan tanpa menimbun. Bukan malah melakukan pembangunan Kantor Pemda Sumsel di Keramasan tepatnya di seberang Musi II Palembang yang menimbun daerah rawa.

"Saya mengusulkan Pembangunan kawasan perumahan sistem polder, rumah dan tempat parkir mobil tidak menimbun rawa tetapi dengan tiang, untuk mengendalikan air di dalam polder dibantu pompa air, dan air yang dalam polder dimanfaatkan untuk pemeliharaan ikan dan pemeliharaan tanaman air yang bernilai ekonomi," tutupnya. 

Suasana sidang lapangan yang digelar PTUN Palembang di lokasi, atas gugatan terhadap pembangunan komplek perkantoran terpadu Pemprov Sumsel beberapa waktu lalu. (rmolsumsel)

Pembangunan Tidak Berwawasan Lingkungan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Muhammad Hairul Sobri juga menyayangkan tindakan pemerintah yang telah mengabaikan fungsi rawa dalam pembangunan di kawasan Keramasan ini. 

“Kalau dilihat pemerintah selalu tidak berpegang teguh pada konsep pembangunan yang berkelanjutan dan dengan mudahnya mengubah wilayah yang dulunya serapan menjadi wilayah alih fungsi,” katanya saat dihubungi, RMOLSumsel.

Ia sependapat dengan Dr Edward dimana pembangunan di kawasan ini akan memunculkan wilayah banjir yang baru. Sobri juga mengaku di wilayah merupakan daerah serapan yang merupakan bagian Ruang Terbuka Hijau (RTH).

“Bagaimana pemerintah bisa mengendalikan banjir sedangkan pemerintah sendiri memberikan contoh yang buruk terhadap pembangunan,” ujarnya.

Menurutnya, wajar hingga saat ini pemerintah belum mampu melakukan penataan terhadap perluasan property yang mengalihfungsikan rawa dengan cara menimbun, sehingga membuat Palembang tidak lepas dari banjir dan semakin meluas setiap tahunnya. 

“Seharusnya setiap itu memperbaiki lingkungan dengan memperluas RTH, membuat pola pembangunan berkelanjutan. Tapi justru, pemerintah memperburuk situasi dan memperluas areal banjir,” tegasnya. 

Selain itu, Perda Rawa yang dibuat juga sejauh ini tidak dipatuhi dan terkesan menutup mata baik, oleh swasta maupun pemerintah itu sendiri. Bahkan, hamper seluruh pembangunan seperti property atau perumahan tidak melalui proses pengawasan sehingga terjadi penimbunan dan mengubah alihfungsi rawa. 

“Dengan kondisi in maka Perda Rawa itu seakan tidak ada harganya dan diabaikan termasuk oleh pemerintah itu sendiri,” tutupnya.