Dihantam Banjir Bandang, Dijerat Konflik Kepentingan

Banjir bandang di Kabupaten Lahat/repro
Banjir bandang di Kabupaten Lahat/repro

Bencana hidrometeorologi yang terjadi sebagian besar wilayah di Sumsel beberapa hari terakhir dinilai sebagai akibat dari kerusakan lingkungan yang semakin masif. 


Hal ini disampaikan oleh pakar hidrologi dan peneliti lingkungan Sumsel, Assoc Prof Dato' Achmad Syarifuddin yang dibincangi oleh Kantor Berita RMOLSumsel. Mulai dari kawasan Lahat, Muara Enim, Empat Lawang, sampai kawasan OKU Selatan terdampak banjir bandang akibat luapan sungai baru baru ini, begitu juga di kawasan Musi Banyuasin-Musi Rawas. 

Parahnya, tidak hanya membuat aktivitas warga terhambat dan memutus akses jalan, bencana yang terjadi di trimester awal tahun 2023 juga menimbulkan kerugian materil dan korban jiwa. "Ini adalah akumulasi dari banyaknya lanskap yang rusak di bagian hulu. Daerah ini sudah tidak lagi sesuai fungsinya," kata Dato' Achmad. 

Seperti dijelaskannya, daerah hulu yang relatif lebih tinggi di kawasan Kabupaten Lahat dan Muara Enim misalnya, saat ini sudah dipenuhi aktivitas pertambangan. Sehingga nyaris sudah sedikit sekali daerah resapan yang membuat air Sungai Lematang meluap. 

Pakar hidrologi dan peneliti lingkungan Sumsel, Assoc Prof Dato' Achmad Syarifuddin/Foto:RMOL

Pemerintah Cenderung Abai dengan Sinyal Alam

Aktivitas pertambangan dan pembukaan lahan besar-besaran untuk kepentingan komersil oleh korporasi maupun individu menjadi penyumbang kerusakan lingkungan terbesar yang terjadi di seluruh wilayah terdampak banjir bandang.

"Ada daerah yang seharusnya ada resapan tapi tidak ada resapan. Disini kita melihat ada konflik kepentingan oknum yang tidak mempertimbangkan rule atau aturan hukum yang berlaku. Sehingga semuanya abai dengan permasalahan yang akan timbul kedepannya," tambahnya.

Secara teknis, rusaknya lingkungan di daerah hulu menurut Dato' Achmad menyebabkan perubahan kontur dan alur sungai menjadi bagian lain dari penyebab banjir bandang ini. Dengan kondisi ini daya atau benteng pertahanan resapan air di wilayah tersebut rusak. Termasuk kurangnya pemeliharaan struktur bendung dan bendungan yang saat ini sudah tua.

"Karena kerusakan lingkungan ini, kiriman air di hulu melebar ke daerah-daerah itulah yang menyebabkan sungai di wilayah hilir itu meluap. Tumpahan air itu loss karena tidak ada lagi penyangga karena hutan sudah banyak gundul, inilah yang menyebabkan banjir bandang," jelasnya.

Peneliti dari Universitas Bina Darma Palembang ini menilai bencana hidrometeorologi ini seharusnya sudah diprediksi oleh pemerintah. Hanya saja, kepekaan pemerintah masih kurang terlihat bahkan cenderung abai dalam melakukan antisipasi kebencanaan. 

"Sebelumnya sudah ada tanda-tanda dengan kejadian longsor di tahun 2021 lalu. Ini karena daerah hulu yang sebelumnya ada hutan tapi tidak seperti hutan lagi," katanya.

Butuh Komitmen dan Kolaborasi dalam Mitigasi Bencana

Maraknya aktivitas penambangan di kawasan hulu Sungai Lematang misalnya, menjadikan pemerintah serba salah. Pada satu sisi, aktivitas ini dianggap mampu menggerakkan perekonomian. 

Namun disisi lain, rusaknya alam dan lingkungan berdampak kepada masyarakat yang merasakan langsung, seperti dalam kejadian beberapa waktu terakhir. Pemerintah, menurut Dato' Achmad terlihat seperti terkunci di tengah konflik kepentingan ini. Meskipun, masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk segera melakukan perbaikan. 

"Diantaranya dengan melakukan konsolidasi bersama pemerintah daerah, baik kabupaten Lahat, Empat Lawang, Pagar Alam, Empat Lawang dan Muara Enim. Termasuk  wilayah tebing dengan memperbaiki kerusakan lanskap yang sudah terjadi saat ini," jelasnya. 

Konsolidasi ini juga perlu dilakukan untuk menata ulang Daerah Aliran Sungai (DAS) dan lahan secara terpadu agar kembali sesuai fungsinya. Hal ini meliputi penghijauan yang harus dilakukan secara teratur. 

Termasuk pula program reklamasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari perusahaan tambang di Sumsel, yang harus dilakukan dengan pengawasan instansi terkait. "Sehingga ada upaya optimal untuk mengembalikan fungsi hidrologi sungai. Apalagi program penghijauan ini, harus dilakukan rutin, jangan hanya mau kiamat saja baru dilakukan," tegasnya. 

Sebab dengan contoh konkrit yang ditunjukkan oleh pemerintah, masyarakat akan terpanggil untuk ikut dalam upaya mitigasi bencana yang terjadi di wilayah rawan di Sumsel. 

"Dipetakan wilayah rawan, dimitigasi dengan mengajak masyarakat melalui sosialisasi dan edukasi sehingga kewaspadaan warga di daerah rawan bisa diminimalisir, termasuk korban materil ataupun korban jiwa," ungkapnya.